Rabu, 30 Maret 2011

kehancuran israel menurut Al Quran dan Al Hadits

















Oleh: Fauzan Al-Anshari
(Pimpinan Pesantren Tahfidz Al-Qur’an Anshorulloh Ciamis)

Kejahatan Yahudi

Tragedi Flotilla pekan lalu benar-benar menggetarkan hati manusia di seluruh dunia yang masih memiliki nurani kemanusiaan. Sehingga kutukan terhadap kebiadaban Israel terus mengalir dari berbagai belahan dunia. Tragedi itu menunjukkan dengan kasat mata, betapa kejahatan Israel tidak memandang agama, ras, dan nilai-nilai kemanusiaan. Pokoknya siapa saja yang menentang kebijakan Israel memblokade Gaza akan mereka serang dengan cara apa pun. Kejahatan semacam ini belum seberapa dibandingkan dengan kejahatan nenek moyang mereka terhadap para Nabi. Berikut ini sejumlah kejahatan Yahudi yang direkam oleh Al-Qur’an dan Hadits.

Allah Ta'ala berfirman:

وَقَضَيْنَا إِلَى بَنِي إِسْرَائِيلَ فِي الْكِتَابِ لَتُفْسِدُنَّ فِي الْأَرْضِ مَرَّتَيْنِ وَلَتَعْلُنَّ عُلُوًّا كَبِيرًا

"Dan telah Kami tetapkan bagi Israil dalam al-Kitab itu: “Sesungguhnya kamu akan membuat kerusakan di muka bumi dua kali dan pasti kamu akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar”. (QS. Al-Isra: 4)

Kejahatan Yahudi disebabkan sifat dengki mereka:

وَدَّ كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُمْ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ

Sebagian besar Ahli Kitab (Yahudi) menginginkan sekali agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena kedengkian yang timbul dari diri mereka sendiri setelah nyata bagi mereka kebenaran......". (QS. Al-Baqarah: 109)

Makar jahat mereka yang pertama terjadi pada zaman Nabi Ya’qub, moyang mereka. Mereka berkeinginan menyingkirkan saudaranya sendiri, Yusuf yang berakhlaq mulia sehingga mereka lebih dicintai bapaknya. (QS.Yusuf: 7-18). Kegemaran mereka membunuh para Nabi dan Rasul seperti membunuh Nabi Yahya secara kejam yaitu memenggal lehernya dan kepalanya diletakkan di nampan emas. Nabi Zakaria juga dibunuh secara keji, yaitu dengan digergaji tubuhnya. Kedua pembunuhan ini terjadi pada masa pemerintahan raja Herodes. Mereka juga gemar membunuh orang-orang sholeh lainnya.

إِنَّ الَّذِينَ يَكْفُرُونَ بِآَيَاتِ اللَّهِ وَيَقْتُلُونَ النَّبِيِّينَ بِغَيْرِ حَقٍّ وَيَقْتُلُونَ الَّذِينَ يَأْمُرُونَ بِالْقِسْطِ مِنَ النَّاسِ فَبَشِّرْهُمْ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ

"Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada ayat-ayat Allah dan membunuh para Nabi tanpa alasan yang benar, dan membunuh orang-orang yang menyuruh manusia berbuat adil, maka gembirakanlah mereka dengan siksa yang pedih". (QS. Ali Imran: 21)

Yahudi telah membunuh para Nabi dan Rasul seperti membunuh Nabi Yahya secara kejam dengan memenggal lehernya dan kepalanya diletakkan di nampan emas. Nabi Zakaria juga dibunuh secara keji dengan digergaji tubuhnya.

Nabi Isa pun tidak luput dari rencana busuk mereka, akan tetapi Allah Subhanahu wa Ta'ala menyelamatkannya. “Dan karena ucapan mereka: Sesungguhnya kami telah membunuh al-Masih Isa ibnu Maryam Rasul Allah”. Padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak pula menyalibnya, tetapi yang mereka bunuh dan salib itu ialah orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka (Yudas Iskaryot). Sesungguhnya orang yang berselisih paham tentang (pembunuhan Isa) benar-benar dalam keraguan tentang (yang dibunuh) itu, kecuali mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak yakin bahwa yang mereka bunuh itu Isa”. (QS. An-Nisa’: 157).

Zu Nuwas adalah seorang raja Yahudi Najran di Yaman yang sangat fanatik, tidak ingin ada agama lain di daerah kekuasaannya. Alkisah ada sekelompok pengikut Nabi Isa yang setia (Nasrani), ketahuan oleh mata-mata kerajaan. Lalu mereka dipaksa murtad dan masuk Yahudi, siapa tidak mau akan dibakar hidup-hidup. Raja Zu Nuwas memerintahkan pasukannya untuk menggali parit dan menyiapkan kayu bakar, yang akan digunakan untuk membakar umat Nasrani yang tidak mau murtad. Kejadian ini dikisahkan di dalam Al-Qur’an: "Binasalah orang-orang yang membuat parit, yang berapi dinyalakan dengan kayu bakar, ketika mereka duduk di sekitarnya, sedang mereka menyaksikan apa yang mereka perbuat terhadap orang-orang beriman. Dan mereka tidak menyiksa orang-orang mukmin itu, melainkan karena orang-orang mukmin itu beriman kepada Allah Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji". (QS. al-Buruj: 4-8)

Singkat cerita, kejahatan Yahudi pada masa Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam-pun tak kurang kejinya. Yahudi Bani Qainuqa' adalah Yahudi pertama yang mengingkari janjinya dengan Rasulullah, pemicunya adalah diganggunya seorang muslimah yang datang ke pasar mereka. Ia duduk di depan salah seorang pengrajin perhiasaan, mereka merayunya agar membuka cadar yang dipakainya namun ia menolak. Lalu si pengrajin menarik ujung baju si wanita dan mengikatkannya ke punggung wanita tadi, ketika berdiri terbukalah auratnya, lalu mereka menertawakannya. Sang wanita pun berteriak minta tolong. Seorang lelaki muslim mendengar lalu menerjang si pengrajin dan membunuhnya. Melihat kejadian itu orang-orang Yahudi mengerumuninya, dan beramai-ramai membunuh lelaki muslim tersebut. Mendengar berita kematian lelaki itu, maka keluarganya menuntut pertanggungjawaban orang-orang Yahudi. Maka Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam datang bersama para sahabat mengepung mereka selama 15 malam. Atas perintah beliau mereka diberi hukuman untuk meninggalkan Madinah.

Yahudi Bani Nadhir melakukan pengkhianatan yang kedua. Suatu saat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam pergi ke perkampungan Yahudi bani Nadhir untuk meminta diyat (denda) dua orang muslim yang terbunuh dari Bani Amir, yang melakukan pembunuhan adalah Amr bin Umayyah Ad-Dhimari, seorang Yahudi. Permintaan itu diajukan karena sudah adanya ikatan perjanjian persahabatan antara Rasulullah dengan mereka. Ketika beliau datang mengutarakan maksud kedatangannya, mereka berkata: “Baik wahai Abu Qasim! kami akan membantumu dengan apa yang engkau inginkan.”

Pada saat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam duduk bersandar di dinding rumah mereka, kemudian mereka saling berbisik, kata mereka: “Kalian tidak pernah mendapati lelaki itu dalam keadaan seperti sekarang ini, ini kesempatan buat kita. Karena itu hendaklah salah seorang dari kita naik ke atas rumah dan menjatuhkan batu karang ke arahnya”, dan untuk tugas ini diserahkan kepada Amr bin Jahsy bin Ka’ab. Lantas ia naik ke atas rumah guna melaksanakan rencana pembunuhan ini, tetapi Allah melindungi Rasul-Nya dari makar orang-orang Yahudi tersebut dengan mengirimkan berita lewat Malaikat Jibril tentang rencana jahat itu. Kemudian Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wasallam bergegas pulang ke Madinah, dan memberitahukan kepada para sahabatnya tentang usaha makar tersebut. Beliau memerintahkan para sahabatnya untuk bersiap-siap pergi memerangi mereka. Ketika orang Yahudi Bani Nadhir mengetahui kedatangan pasukan Rasulullah, mereka cepat pergi berlindung di balik benteng. Pasukan Islam mengepung perkampungan mereka selama 6 malam, beliau memerintahkan untuk menebang pohon kurma mereka dan membakarnya. Kemudian Allah memasukkan rasa gentar dan takut di hati mereka, sehingga mereka memohon izin kepada Rasulullah untuk keluar dari Madinah dan mengampuni nyawa mereka. Mereka juga meminta izin untuk membawa harta seberat yang mampu dipikul unta-unta mereka kecuali persenjataan, dan Rasulullah pun mengizinkannya.

Peristiwa ini direkam oleh Al-Qur’an:

هُوَ الَّذِي أَخْرَجَ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ مِنْ دِيَارِهِمْ لِأَوَّلِ الْحَشْرِ مَا ظَنَنْتُمْ أَنْ يَخْرُجُوا وَظَنُّوا أَنَّهُمْ مَانِعَتُهُمْ حُصُونُهُمْ مِنَ اللَّهِ فَأَتَاهُمُ اللَّهُ مِنْ حَيْثُ لَمْ يَحْتَسِبُوا وَقَذَفَ فِي قُلُوبِهِمُ الرُّعْبَ يُخْرِبُونَ بُيُوتَهُمْ بِأَيْدِيهِمْ وَأَيْدِي الْمُؤْمِنِينَ فَاعْتَبِرُوا يَا أُولِي الْأَبْصَارِ

"Dialah yag mengeluarkan orang-orang kafir di antara Ahli Kitab dari kampung-kampung mereka pada saat pengusiran kali yang pertama. Kamu tiada menyangka bahwa mereka akan keluar dan mereka pun yakin bahwa benteng-benteng mereka akan dapat mempertahankan mereka dari siksaan Allah, maka Allah mendatangkan kepada mereka hukuman dari arah yang mereka tidak sangka. Dan Allah menancapkan ketakutan di dalam hati mereka, dan memusnahkan rumah-rumah mereka dengan tangan mereka sendiri dan tangan orang-orang beriman. Maka ambillah kejadian itu untuk menjadi pelajaran wahai orang yang mempunyai pandangan". (QS. al-Hasyr: 2)

Yahudi Bani Quraizhah melakukan pengkhianatan yang ketiga. Mereka membentuk pasukan Koalisi (al-Ahzab), antara pasukan musyrik dan pasukan Yahudi. Suku Quraisy dipimpin Abu Sufyan ibnu Harb, suku Gathafan di bawah pimpinan Uyainah ibnu Hushn, suku bani Murrah di bawah pimpinan Harits ibnu Auf dan suku-suku yang lain, sementara pasukan Yahudi bani Quraizhah akan menusuk dari belakang. Peperangan Al-Ahzab itu betul-betul menyesakkan dada kaum muslimin yang terkepung, apalagi tingkah golongan munafik yang membuat goyah pasukan Islam. Berkat kesabaran kaum muslimin, maka Allah Subhanahu wa Ta'ala mengirim pasukan Malaikat dengan mendatangkan serangan berupa angin topan dan guntur yang memporak-porandakan pasukan koalisi. Mereka kocar-kacir, dan pulang ke tempat masing-masing dengan membawa kekalahan. Tinggallah Yahudi Bani Quraizhah, lalu Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam mengumumkan kepada pasukan Islam: “Bagi mereka yang mau mendengar dan taat agar jangan shalat ashar kecuali di perkampungan Bani Quraizhah.

Kaum muslimin langsung bergerak menuju perkampungan Yahudi Bani Quraizah, dan mengepung mereka selama 25 malam. Orang-orang Yahudi tersebut benar-benar dicekam rasa ketakutan, lalu memohon kepada Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam agar memberikan izin kepada mereka untuk keluar, sebagaimana yang beliau lakukan kepada Yahudi Bani Nadhir. Beliau menolak permohonan mereka, kecuali mereka keluar dan taat pada keputusan beliau. Kemudian Rasululah Shallallahu 'Alaihi Wasallam menyerahkan keputusan atas mereka kepada Sa’ad ibnu Mu’adz pemimpin suku Aus. Keputusan telah ditetapkan yaitu: laki-laki dewasa dieksekusi, harta dirampas, anak-anak dan wanita menjadi tawanan. Hukuman terhadap pengkhianatan Bani Quraizhah lebih berat dari pada Bani Qainuqa' dan Bani Nadzir, karena dampak dari pengkhianatan mereka hampir saja merontokkan moral kaum muslimin dan membahayakan nyawa mereka semua.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا اذْكُرُوا نِعْمَةَ اللَّهِ عَلَيْكُمْ إِذْ جَاءَتْكُمْ جُنُودٌ فَأَرْسَلْنَا عَلَيْهِمْ رِيحًا وَجُنُودًا لَمْ تَرَوْهَا وَكَانَ اللَّهُ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرًا إِذْ جَاءُوكُمْ مِنْ فَوْقِكُمْ وَمِنْ أَسْفَلَ مِنْكُمْ وَإِذْ زَاغَتِ الْأَبْصَارُ وَبَلَغَتِ الْقُلُوبُ الْحَنَاجِرَ وَتَظُنُّونَ بِاللَّهِ الظُّنُونَا هُنَالِكَ ابْتُلِيَ الْمُؤْمِنُونَ وَزُلْزِلُوا زِلْزَالًا شَدِيدًا

"Hai orang-orang yang beriman ingatlah akan nikmat Allah kepadamu, ketika datang kepadamu tentara-tentara, lalu Kami kirimkan kepada mereka angin topan dan tentara yang tidak dapat kamu melihatnya. Dan adalah Allah Maha Melihat akan apa yang kamu kerjakan. Yaitu ketika datang (musuh) dari atas dari bawahmu, dan ketika tidak tetap lagi penglihatanmu dan hatimu naik menyesak sampai ke tenggorokan, dan kamu menyangka terhadap Allah dengan bermacam-macam purbasangka disitulah diuji orang-orang mukmin, dan digoncangkan hatinya dengan goncangan yang sangat". (QS. al-Ahzab: 9-11)

Kehancuran Yahudi

Secara global Al-Qur’an mengabarkan kehancuran Yahudi, seperti firman-Nya:

فَإِذَا جَاءَ وَعْدُ الْآَخِرَةِ لِيَسُوءُوا وُجُوهَكُمْ وَلِيَدْخُلُوا الْمَسْجِدَ كَمَا دَخَلُوهُ أَوَّلَ مَرَّةٍ وَلِيُتَبِّرُوا مَا عَلَوْا تَتْبِيرًا

"Dan apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan Israel) yang kedua, (Kami datangkan orang-orang Islam di bawah pimpinan Imam Mahdi) untuk menyuramkan muka-muka kamu dan mereka masuk ke dalam Masjid (Al-Aqsha), sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama, dan untuk membinasakan sehabis-habisnya apa yang mereka kuasai”. (QS. Al-Isra’: 7)

Sejak 1948 Yahudi merampas tanah Palestina. Dan sejak 2006 sampai sekarang mereka memblokade Gaza. Sehingga sekitar 1,5 juta jiwa muslim terkurung rapat dari dunia luar. Berbagai upaya kemanusiaan untuk membantu mereka selalu digagalkan oleh Israel, termasuk misi kemanusiaan yang baru saja diserang pasukan komando Israel di perairan Gaza (Laut Mediterania). Tidak ada kekuatan di dunia ini yang mampu menghentikan kebiadaban Israel. Pengepungan dan pemenjaraan massal oleh penjajah Israel dengan pembangunan tembok pemisah dimulai 16 Juni 2002 di Tepi Barat dengan dalih pengamanan. Panjang tembok tersebut mencapai 721 km sepanjang Tepi Barat, tinggi 8 meter sehingga mengisolasi lahan pertanian milik penduduk Palestina yang ditanami berbagai buah, seperti anggur dan zaitun. Hal ini berakibat perekonomian Palestina terpuruk. Pengepungan ini sudah dinubuwatkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:

"Hampir tiba masanya tidak dibolehkan masuk (embargo) kepada penduduk Iraq meski hanya satu qafiz makanan dan satu dirham," Kami bertanya dari mana larangan itu? Beliau menjawab: "Dari orang-orang asing yang melarangnya." Kemudian berkata lagi: "Hampir tiba masanya tidak diperbolehkan masuk (blokade) kepada penduduk Syam (Palestina) meski hanya satu dinar dan satu mud makanan." Kami bertanya: "Dari mana larangan itu? Beliau menjawab: Dari orang-orang Romawi." (HR. Muslim)

Siapa kekuatan yang mampu menghancurkan Israel? Pasukan Islam dari Khurasan (Afghanistan) dengan bendera-bendera hitam, . . (al-Hadits)

Siapa kekuatan yang mampu menghancurkan Israel? Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam menjelaskan: “Akan muncul dari Khurasan (Afghanistan) bendera-bendera hitam, maka tidak ada seorang pun yang mampu mencegahnya, sehingga bendera-bendera itu ditancapkan di Eliya (al-Quds)“. (HR. Ahmad, Tirmidzi dan Nu’aim bin Hammad). Kehancuran Israel berarti kiamat telah dekat, sehingga banyak orang mempertahankan eksistensi Negara Israel tersebut, namun janji Allah dan Rasul-Nya pasti akan terlaksana:

Tidak akan terjadi kiamat sehingga kaum muslimin memerangi bangsa Yahudi, sampai-sampai orang Yahudi berlindung di balik batu dan pohon, lalu batu dan pohon tadi akan berbicara; Wahai orang Islam, hai hamba Allah! di belakangku ada orang-orang Yahudi, kemarilah, bunuhlah dia, kecuali pohon Ghorqod, sebab ia itu sungguh pohonnya Yahudi”. (HR. Ahmad)

Kalian akan memerangi orang-orang Yahudi sehingga seorang diantara mereka bersembunyi di balik batu. Maka batu itu berkata, “Wahai hamba Allah, inilah si Yahudi di belakangku, maka bunuhlah ia”. [HR. Al-Bukhoriy dalam Shohih-nya (2767), dan Muslim dalam Shahih-nya (2922)].

Al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “Dalam hadits ini terdapat tanda-tanda dekatnya hari kiamat, berupa berbicaranya benda-benda mati, pohon, dan batu. Lahiriahnya hadits ini (menunjukkan) bahwa benda-benda itu berbicara secara hakikat”.[Fathul Bari (6/610)]. Wallahu a’lam

Senin, 07 Maret 2011

link bacaan menarik islami

  1. La Tahzan
  2. Hipnotis adalah Dajjal Modern
  3. Dilarang berkumpul/bergaul dengan Jemaah Tabligh
  4. Teori Big Bang dalam Al-Qur’an
  5. Sejarah Valentine Day
  6. Batas Aurat Perempuan
  7. Sejarah perayaan Maulid Nabi
  8. Hukum membaca Al-Fatihah dibelakang Imam
  9. Mengerakkan jari telunjuk ketika tahiyat/tasyahut
  10. Tata cara puasa senin kamis
  11. Hukum minum sambil berdiri

Larangan Jual Beli dan Meludah Dalam Masjid

Dari Anas bin Malik -radhiallahu anhu- dia berkata:
أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَأَى نُخَامَةً فِي الْقِبْلَةِ فَشَقَّ ذَلِكَ عَلَيْهِ حَتَّى رُئِيَ فِي وَجْهِهِ فَقَامَ فَحَكَّهُ بِيَدِهِ فَقَالَ إِنَّ أَحَدَكُمْ إِذَا قَامَ فِي صَلَاتِهِ فَإِنَّهُ يُنَاجِي رَبَّهُ أَوْ إِنَّ رَبَّهُ بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْقِبْلَةِ فَلَا يَبْزُقَنَّ أَحَدُكُمْ قِبَلَ قِبْلَتِهِ وَلَكِنْ عَنْ يَسَارِهِ أَوْ تَحْتَ قَدَمَيْهِ ثُمَّ أَخَذَ طَرَفَ رِدَائِهِ فَبَصَقَ فِيهِ ثُمَّ رَدَّ بَعْضَهُ عَلَى بَعْضٍ فَقَالَ أَوْ يَفْعَلُ هَكَذَا
“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam pernah melihat ada dahak di dinding kiblat, maka beliau merasa jengkel hingga nampak tersirat pada wajahnya. Kemudian beliau menggosoknya dengan tangannya seraya bersabda, “Jika seseorang dari kalian berdiri shalat maka sesungguhnya dia sedang berhadapan dengan Rabbnya, atau sesungguhnya Rabbnya berada antara dia dan kiblat. Maka janganlah dia meludah ke arah kiblat, tetapi hendaknya dia membuang dahaknya ke arah kirinya atau di bawah kedua kakinya.” Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam memegang tepi kainnya dan meludah di dalamnya, setelah itu beliau mengosokkannya kepada bagian kainnya yang lain, lalu beliau bersabda, “Atau hendaknya dia melakukan seperti ini.” (HR. Al-Bukhari no. 507 dan Muslim no. 550)
Anas bin Malik  berkata: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
الْبُزَاقُ فِي الْمَسْجِدِ خَطِيئَةٌ وَكَفَّارَتُهَا دَفْنُهَا
“Meludah di dalam masjid adalah suatu kesalahan, dan kaffarahnya (penghapus dosanya) adalah menimbunnya.” (HR. Al-Bukhari no. 511 dan Muslim no. 552)
Dari Abu Hurairah  bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يَبِيعُ أَوْ يَبْتَاعُ فِي الْمَسْجِدِ فَقُولُوا لَا أَرْبَحَ اللَّهُ تِجَارَتَكَ وَإِذَا رَأَيْتُمْ مَنْ يَنْشُدُ فِيهِ ضَالَّةً فَقُولُوا لَا رَدَّ اللَّهُ عَلَيْكَ
“Jika kalian melihat orang membeli atau menjual di dalam masjid, maka katakanlah, “Semoga Allah tidak memberi keuntungan kepada barang daganganmu.” Jika kalian melihat orang yang mencari sesuatu yang hilang di dalamnya maka katakanlah, “Semoga Allah tidak mengembalikannya kepadamu.” (HR. At-Tirmizi no. 1321 dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 573)

Penjelasan ringkas:
Tujuan masjid dibangun hanyalah untuk shalat, zikir, dan beribadah kepada Allah. Dan dia merupakan bagian bumi yang paling Allah cintai. Karenanya ketika seorang berada di dalam masjid maka dia diharuskan untuk beradab dengan adab-adab islami yang telah dituntunkan oleh Rasulullah . Dan di antara adab tersebut adalah Nabi -alaihishshalatu wassalam- memerintahkan agar menyucikan masjid dari semua perkara yang tidak berhubungan dengan tujuan dia dibangun, misalnya membuang kotoran dan berjual beli di dalamnya.

Berikut beberapa masalah yang dipetik dari hadits-hadits di atas secara berurut:
1. Tingginya kecemburuan Nabi -alaihishshalatu wassalam- kepada agama Allah, dimana beliau tidak merasa nyaman ketika ada kotoran yang terdapat dalam masjid.

2. Wajib bagi seorang imam masjid untuk mengingkari kemungkaran yang terjadi di dalam masjid yang dia imami, karena itu termasuk dalam lingkup tanggung jawabnya.

3. Dalam hadits ini, Nabi -alaihishshalatu wassalam- telah mengumpulkan ketiga jenis nahi mungkar: Dengan hati beliau tatkala beliau jengkel dan tidak senang dengannya, dengan lisan tatkala beliau menasehati dan melarang para sahabat, dan dengan tangan tatkala beliau membersihkan sendiri dahak yang ada di masjid. Dan beliau juga mengumpulkan dua jenis pengajaran: Dengan teori dan dengan praktek.

4. Hukum meludah ke arah kiblat di dalam shalat adalah haram berdasarkan larangan Nabi -alaihishshalatu wassalam-, “Maka janganlah dia meludah ke arah kiblat.” Karena hukum asal larangan adalah haram kecuali ada dalil yang memalingkan hukumnya.

5. Sudah menjadi kaidah tetap dalam syariat Islam, bahwa tatkala Islam melarang dari suatu amalan -padahal amalan itu dibutuhkan oleh kaum muslimin-, maka dia akan mensyariatkan amalan lain yang mirip dengannya tanpa melanggar syariat yang lainnya. Dalam hal ini, tatkala seorang yang shalat terkadang butuh meludah atau membuang dahak sementara Islam melarang untuk membuangnya ke arah kiblat, maka Islam menuntunkan amalan lain yang syar’i tanpa melarang mereka melakukan hal yang terkadang mereka butuhkan tersebut, yaitu membuang ludah atau dahak ke arah kirinya atau di bawah kedua kakinya atau membuangnya ke pakaiannya lalu menggosoknya.

6. Kiblat termasuk syariat Allah yang terbesar, karenanya dia harus dimuliakan dengan tidak membuang kotoran -apalagi najis- ke arahnya. Karenanya dimakruhkan untuk buang air besar dan kecil menghadap ke kiblat.

7. Membuang ludah dan dahak ke arah kiri atau di bawah pakaiannya hanya berlaku jika seseorang itu shalat di luar masjid dan tidak ada orang yang sedang shalat di sebelah kirinya. Adapun jika dia shalat di dalam masjid maka tidak boleh dia meludah ke arah kiri -berdasarkan hadits Anas yang kedua di atas- dan tidak boleh juga di bawah kakinya karena dia tidak akan bisa menimbunnya, mengingat hampir seluruh masjid kaum muslimin di zaman ini sudah memakai tegel atau yang semacamnya sehingga tidak mungkin bagi dia untuk menimbunnya. Demikian pula jika dia membuangnya ke arah kirinya sementara ada orang di sebelah kirinya maka itu berarti membuang kotoran ke arah saudaranya, dan ini juga tidak diperbolehkan.

8. Karenanya, larangan membuang dahak dan ludah ke arah kiblat di luar masjid dan tidak sedang shalat adalah mubah dan tidak makruh. Wallahu a’lam.

9. Larangan berjual beli di dalam masjid. Adapun batasan masjid yang seseorang tidak boleh jual beli di situ, maka silakan baca pembahasannya di sini: http://al-atsariyyah.com/?p=1387

10. Disyariatkan bagi orang yang melihatnya untuk mendoakannya dengan doa yang ma`tsur di atas.

11. Jual beli yang dimaksud di sini adalah akad jual beli. Karenanya:
a. Jika ada dua orang yang melakukan akad di dalam masjid walaupun barangnya belum ada dan pembayaran juga belum dilakukan, maka ini termasuk dalam larangan karena keduanyta telah melakukan jual beli di dalam masjid.
b. Menitipkan atau menerima titipan uang atau barang dagangan di dalam masjid adalah boleh, karena itu bukanlah jual beli.
c. Membayar utang di dalam masjid tidak mengapa karena utang piutang bukanlah jual beli. Misalnya ada dua orang yang melakukan akad di luar masjid, barangnya sudah diambil akan tetapi bayarnya besok dan dilakukan di dalam masjid. Maka ini insya Allah tidak mengapa karena pembayaran ini adalah pelunasan utang dan bukan jual beli. Demikian pula sebaliknya jika pembayarannya dilakukan di luar masjid lalu penyerahan barangnya besok di dalam masjid. Contoh lain adalah seseorang memfoto kopi materi taklim dengan uangnya sendiri lalu dia membagi-bagikannya di dalam masjid lalu menerima pembayaran dari yang mengambil materi tersebut. Maka ini juga adalah transaksi pembayaran hutang dan bukan jual beli, selama orang tersebut tidak mengambil keuntungan dari ongkos foto kopinya. Jika dia mengambil keuntungan maka itu termasuk transaksi jual beli dalam masjid yang terlarang. Wallahu a’lam

12. Larangan mencari barang yang hilang di dalam masjid, dan batasan masjid juga bisa dilihat pada link di atas.

13. Juga dilarang mengumumkan barang yang hilang di dalam masjid walaupun dia tidak mencarinya di dalam masjid.

14. Disyariatkan bagi yang melihat atau mendengar orang yang mencari atau mengumumkan barang hilang di dalam masjid untuk mendoakannya dengan doa yang ma`tsur di atas.

Hanya ini yang bisa kami petik -sebatas keilmuan kami-, dan bagi siapa saja yang bisa memetik faidah lain dari dalil-dalil di atas, maka silakan dia menuliskan pada kolom komentar di bawah. Wal ilmu indallah.

Tawakkal, Syarat Mutlak Masuk Surga Tanpa Hisab dan Azab

Allah Ta’ala berfirman:

وَمَن يَتَوَكَّلْ عَلَى اللَّهِ فَهُوَ حَسْبُهُ

“Dan barangsiapa yang bertawakkal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupi (semua keperluan) nya.(QS. Ath-Thalaq: 3)

Allah Ta’ala berfirman:

وَعَلَى اللّهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُونَ

“Dan hanya kepada Allah, hendaknya orang-orang yang beriman bertawakkal. (QS. Ath-Thaghabun: 13)

Hushain bin Abdurrahman -rahimahullah- berkata:

كُنْتُ عِنْدَ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ فَقَالَ أَيُّكُمْ رَأَى الْكَوْكَبَ الَّذِي انْقَضَّ الْبَارِحَةَ قُلْتُ أَنَا ثُمَّ قُلْتُ أَمَا إِنِّي لَمْ أَكُنْ فِي صَلَاةٍ وَلَكِنِّي لُدِغْتُ قَالَ فَمَاذَا صَنَعْتَ قُلْتُ اسْتَرْقَيْتُ قَالَ فَمَا حَمَلَكَ عَلَى ذَلِكَ قُلْتُ حَدِيثٌ حَدَّثَنَاهُ الشَّعْبِيُّ فَقَالَ وَمَا حَدَّثَكُمْ الشَّعْبِيُّ قُلْتُ حَدَّثَنَا عَنْ بُرَيْدَةَ بْنِ حُصَيْبٍ الْأَسْلَمِيِّ أَنَّهُ قَالَ لَا رُقْيَةَ إِلَّا مِنْ عَيْنٍ أَوْ حُمَةٍ فَقَالَ قَدْ أَحْسَنَ مَنْ انْتَهَى إِلَى مَا سَمِعَ وَلَكِنْ حَدَّثَنَا ابْنُ عَبَّاسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ عُرِضَتْ عَلَيَّ الْأُمَمُ فَرَأَيْتُ النَّبِيَّ وَمَعَهُ الرُّهَيْطُ وَالنَّبِيَّ وَمَعَهُ الرَّجُلُ وَالرَّجُلَانِ وَالنَّبِيَّ لَيْسَ مَعَهُ أَحَدٌ إِذْ رُفِعَ لِي سَوَادٌ عَظِيمٌ فَظَنَنْتُ أَنَّهُمْ أُمَّتِي فَقِيلَ لِي هَذَا مُوسَى صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَوْمُهُ وَلَكِنْ انْظُرْ إِلَى الْأُفُقِ فَنَظَرْتُ فَإِذَا سَوَادٌ عَظِيمٌ فَقِيلَ لِي انْظُرْ إِلَى الْأُفُقِ الْآخَرِ فَإِذَا سَوَادٌ عَظِيمٌ فَقِيلَ لِي هَذِهِ أُمَّتُكَ وَمَعَهُمْ سَبْعُونَ أَلْفًا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلَا عَذَابٍ ثُمَّ نَهَضَ فَدَخَلَ مَنْزِلَهُ فَخَاضَ النَّاسُ فِي أُولَئِكَ الَّذِينَ يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ بِغَيْرِ حِسَابٍ وَلَا عَذَابٍ فَقَالَ بَعْضُهُمْ فَلَعَلَّهُمْ الَّذِينَ صَحِبُوا رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَقَالَ بَعْضُهُمْ فَلَعَلَّهُمْ الَّذِينَ وُلِدُوا فِي الْإِسْلَامِ وَلَمْ يُشْرِكُوا بِاللَّهِ وَذَكَرُوا أَشْيَاءَ فَخَرَجَ عَلَيْهِمْ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَقَالَ مَا الَّذِي تَخُوضُونَ فِيهِ فَأَخْبَرُوهُ فَقَالَ هُمْ الَّذِينَ لَا يَرْقُونَ وَلَا يَسْتَرْقُونَ وَلَا يَتَطَيَّرُونَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ فَقَامَ عُكَّاشَةُ بْنُ مِحْصَنٍ فَقَالَ ادْعُ اللَّهَ أَنْ يَجْعَلَنِي مِنْهُمْ فَقَالَ أَنْتَ مِنْهُمْ ثُمَّ قَامَ رَجُلٌ آخَرُ فَقَالَ ادْعُ اللَّهَ أَنْ يَجْعَلَنِي مِنْهُمْ فَقَالَ سَبَقَكَ بِهَا عُكَّاشَةُ

“Saya pernah bersama Said bin Jubair lalu dia berkata, ‘Siapa di antara kalian yang melihat bintang jatuh tadi malam? ‘ Aku menjawab, ‘Aku’. Kemudian aku berkata, ‘Tapi aku tidak sedang mengerjakan shalat, akan tetapi aku terbangun karena aku disengat (binatang).’ Sa’id lalu berkata, “Lantas apa yang kamu perbuat? ‘ Aku menjawab, ‘Aku meminta untuk diruqyah.’ Sa’id bertanya, ‘Apa yang membuatmu melakukan hal tersebut? ‘ Aku menjawab, ‘Sebuah hadits yang Asy-Sya’bi ceritakan kepadaku.’ Sa’id bertanya lagi, ‘Apa yang diceritakan asy-Sya’bi kepada kalian.’ Aku menjawab, ‘Dia telah menceritakan kepada kami dari Buraidah bin Hushaib al-Aslami, bahwa dia berkata, “Tidak ada ruqyah kecuali disebabkan oleh penyakit ain dan racun (sengatan binatang berbisa).” Maka Sa’id pun menjawab, “Telah berbuat baik orang melaksanakan sesuai dengan apa (dalil) yang dia dengar. Hanya saja Ibnu Abbas telah menceritakan kepada kami dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Telah diperlihatkan kepadaku semua umat. Lalu aku melihat seorang nabi yang bersamanya 3 sampai 9 orang, ada juga nabi yang bersama dengannya hanya satu atau dua orang lelaki saja, bahkan ada seorang nabi dan tidak ada seorangpun yang bersamanya. Tiba-tiba diperlihatkan kepadaku sekumpulan orang, maka aku menyangka mereka adalah umatku. Tetapi dikatakan kepadaku, ‘Mereka adalah Nabi Musa alaihissalam dan kaumnya. Tetapi lihatlah ke ufuk’. Lalu aku pun melihatnya, ternyata ada kumpulan besar yang berwarna hitam (yakni saking banyaknya orang kelihatan dari jauh). Lalu dikatakan lagi kepadaku, ‘Lihatlah ke ufuk yang lain.’ Ternyata di sana juga terdapat kumpulan besar yang berarna hitam. Dikatakan kepadaku, ‘Ini adalah umatmu dan bersama mereka ada tujuh puluh ribu orang yang akan memasuki surga tanpa dihisab dan azab.” Setelah menceritakan itu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam kemudian bangkit lalu masuk ke dalam rumahnya. Orang-orang lalu memperbincangkan mengenai mereka yang akan dimasukkan ke dalam Surga tanpa dihisab dan azab. Sebagian dari mereka berkata, “Mungkin mereka adalah orang-orang yang selalu bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” Ada pula yang mengatakan, “Mungkin mereka adalah orang-orang yang dilahirkan dalam Islam dan tidak pernah melakukan perbuatan syirik terhadap Allah.” Mereka mengemukakan pendapat masing-masing. Lalu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar menemui mereka, lalu beliau bertanya: “Apa yang telah kalian perbincangkan?” Mereka pun menerangkannya kepada beliau. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Mereka adalah orang-orang yang tidak meruqyah, tidak meminta untuk diruqyah, tidak meyakini thiyarah (pamali) dan hanya kepada Allah mereka bertawakal.” Ukkasyah bin Mihshan berdiri lalu berkata, “Berdoalah kepada Allah agar aku termasuk dari kalangan mereka.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Kamu termasuk dari kalangan mereka.” Kemudian seorang lelaki lain berdiri dan berkata, “Berdoalah kepada Allah agar aku termasuk dari kalangan mereka.” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Ukkasyah telah mendahuluimu.” (HR. Al-Bukhari no. 5270 dan Muslim no. 323)

Kalimat yang ditebalkan di atas telah dikritisi oleh sebagian ulama, di antaranya Imam Ad-Daraquthni dan selainnya. Karena kandungannya bertentangan dengan dalil-dalil lain yang membolehkan bahkan menganjurkan seseorang yang mampu untuk meruqyah saudaranya, tanpa perlu dia diminta.

Dalam riwayat Al-Bukhari disebutkan:

هُمْ الَّذِينَ لَا يَتَطَيَّرُونَ وَلَا يَسْتَرْقُونَ وَلَا يَكْتَوُونَ وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ

“Mereka itu adalah orang-orang yang tidak meyakini thiyarah (pamali), tidak meminta untuk diruqyah, dan tidak menggunakan kay (pengobatan dengan besi panas), dan hanya kepada Rabb merekalah mereka bertawakkal.”

Penjelasan ringkas:

Definisi tawakkal adalah penyandaran hati dan penyerahan semua urusan kepada Allah Ta’ala dalam meraih kebaikan atau menghindar dari mudharat, disertai dengan usaha dengan menempuh sebab yang syar’i (dibenarkan syariat) dan kauni (terbukti punya hubungan sebab akibat). Karenanya bukan tawakkal kalau hanya pasrah kepada takdir tanpa ada usaha, dan sebaliknya termasuk kesyirikan jika hanya bersandar pada usaha tanpa menyandarkan seluruhnya kepada Allah Ta’ala.

Tawakkal termasuk dari ibadah qalbiah (hati) yang paling mulia dan paling urgen, sampai-sampai Allah Ta’ala menggandengkan tawakkal dengan tauhid kepada-Nya dalam firman-Nya, (Dia-lah) Allah tidak ada sembahan yang hak selain Dia. Dan hanya kepada Allah, hendaknya orang-orang yang beriman bertawakkal. (QS. Ath-Thaghabun: 13). Karenanya balasannyapun merupakan balasan yang paling mulia di dunia dan di akhirat, di dunia berupa kecukupan dari Allah dalam semua hal yang dia butuhkan dan di akhirat berupa masuk surga pertama kali, tanpa didahului oleh hisab dan azab (dibersihkan dalam neraka).

Dalam hadits di atas disebutkan 4 kriteria dari ke-70.000 orang yang akan masuk surga tanpa hisab dan azab, hanya saja 3 yang pertama merupakan sifat detail dan yang keempat merupakan sifat umum untuk ketiganya. Yakni karena orang yang minta diruqyah, meyakini pamali, dan berobat dengan kay adalah orang-orang yang rendah tawakkalnya kepada Allah. Orang yang pertama karena minta diruqyah padahal bisa saja dia meruqyah dirinya sendiri, maka tatkala dia meminta bantuan diruqyah maka menunjukkan kepercayaan dan ketergantungan dia kepada Allah rendah. Orang yang meyakini pamali rendah tawakkalnya karena meyakini sesuatu yang bukan sebab syar’i dan kauni sebagai sebab, padahal dalam tawakkal seseorang hanya boleh menempuh dan meyakini sebab yang syar’i dan kauni. Orang yang ketiga juga rela menyakiti tubuhnya untuk sembuh padahal masih ada pengobatan lainnya, ini tentunya dia lakukan karena rendahnya tawakkal dan kesabaran dia kepada Allah.

Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin dalam Syarah Tsalatsah Al-Ushul hal. 58-59 menyebutkan 4 bentuk tawakkal, yang kesimpulannya:

  1. Tawakkal kepada Allah Ta’ala. Ini adalah ibadah yang besar bahkan merupakan tanda sempurnanya keimanan.
  2. Tawakkal sirr (terselubung), yaitu seseorang bertawakkal kepada orang yang telah meninggal (sesoleh apapun dia, apalagi kalau dia adalah thaghut), dalam usaha meraih maslahat dan menghindar dari mudharat. Hukum amalan ini adalah syirik akbar dan mengeluarkan pelakunya dari Islam. Hal itu karena tidak mungkin dia bertawakkal kepada orang yang sudah meninggal kecuali dia meyakini orang itu juga mampu mengatur para makhluk.
  3. Tawakkal kepada makhluk (yang masih hidup) pada perkara yang makhluk itu sanggup melaksanakannya, tapi disertai perasaan tingginya kedudukan orang itu dan rendahnya kedudukan dia di hadapan orang itu. Misalnya seseorang yang hatinya bergantung pada pimpinannya dalam mendapatkan penghasilan, dan semacamnya. Hukum amalan ini adalah syirik asghar. Tapi jika dia meyakini pimpinannya hanya sebagai sebab dan hanya Allah yang memberikan rezeki maka yang seperti ini tidak mengapa.
  4. Mewakilkan sebuah amalan kepada orang lain, pada amalan yang bisa diwakilkan dan orang lain itu bisa menggantikannya. Sebagaimana Nabi -alaihishshalatu wassalam- mewakilkan penjagaan sedekah kepada sebagian sahabat dan sebagaimana beliau mewakilkan penyembelihan 37 ekor ontanya kepada Ali setelah beliau sendiri menyembelih 63 ekor. Hukum amalan ini adalah boleh berdasarkan ijma’ ulama.

Beberapa pelajaran dari hadits di atas:

  1. Di antara kebiasaan para ulama salaf adalah senantiasa bermajelsi ilmu kapanpun mereka bertemu.
  2. Tingginya keikhlasan dan wara` para ulama salaf, tatkala mereka tidak ingin dipuji pada amalan yang tidak mereka lakukan. Tatkala Hushain bangun di malam hari maka mungkin akan ada yang mengira kalau dia bangun untuk shalat lail, maka beliaupun membantah sebelum muncul perkiraan seperti itu.
  3. Seseorang yang keliru, sebelum dia dinasehati hendaknya ditanyakan dahulu alasan dia melakukan kekeliruan tersebut, mungkin saja dia mempunyai dalil atas amalannya. Karenanya Said bin Jubair bertanya terlebih dahulu kepada Hushain mengenai alasannya minta diruqyah, karena sepengetahuan dia itu adalah amalan yang makruh.
  4. Maksud kalimat, “Tidak ada ruqyah kecuali disebabkan oleh penyakit ain dan racun (sengatan binatang berbisa),” adalah bahwa ruqyah pada kedua jenis penyakit ini sangat cepat berkhasiat, walaupun ruqyah juga bisa dilakukan pada selain kedua penyakit ini.
  5. Orang yang beramal dengan dalil yang dia ketahui tidaklah tercela walaupun dia keliru, bahkan tindakannya itu adalah tindakan yang benar. Inilah maksud dari ucapan ulama, “Setiap pihak yang berbeda pendapat itu benar,” yakni jika keduanya berlandaskan pada dalil yang shahih.
  6. Para nabi juga diutus oleh Allah untuk menyampaikan risalah, karena buktinya mereka juga mempunyai pengikut.
  7. Tidak boleh tertipu dengan banyaknya pengikut, banyaknya murid, dan banyaknya orang yang hadir ketika dia membawakan materi, sehingga mengira dirinya di atas kebenaran. Hal itu karena mayoritas bukanlah tolak ukur kebenaran, karena para nabi dalam hadits tersebut jelas berada di atas kebenaran tapi ternyata pengikutnya hanya sedikit bahkan ada nabi yang tidak punya pengikut. Bahkan nash-nash dalam kedua wahyu menunjukkan bahwa kebanyakan golongan mayoritas adalah orang-orang yang tersesat. Ini sebagai bantahan bagi semua metode mencari kebenaran dan kemenangan dengan menjadikan suara terbanyak sebagai patokan.
  8. Walaupun seseorang tidak boleh tertipu dengan banyaknya pengikut, tapi tidak menunjukkan dia tidak perlu bersemangat dalam berdakwah. Karena pada hadits di atas juga disebutkan bahwa pengikut Nabi -alaihishshalatu wassalam- sangatlah banyak. Jadi hendaknya seorang dai berada di sikap pertengahan, tidak bangga dengan banyaknya murid dan juga tidak merasa cukup dengan sedikitnya orang yang mengikuti sunnah.
  9. Umat Bani Israil merupakan umat yang terbanyak setelah umat Islam, dan sekaligus menunjukkan keutamaan Nabi Musa -alaihishshalatu wassalam- selaku nabi mereka.
  10. Keutamaan Allah atas umat ini yang Dia tidak berikan kepada umat lainnya, yaitu ada 70.000 orang di antara mereka yang masuk surga tanpa hisab dan azab.
  11. Jumlah orang yang masuk surga tanpa hisab dan azab yang tersebut dalam hadits ini adalah 70.000 orang. Dan disebutkan dalam hadits Abu Umamah Al-Bahili riwayat At-Tirmizi, Ibnu Majah, Ahmad, dan dihasankan oleh sebagian ulama, “Setiap seribunya ditambahkan tujuhpuluh ribu orang lagi.” Jadi total seluruhnya adalah 4.900.000 orang yang masuk surga tanpa hisab dan azab.
  12. Keutamaan mereka yang bersahabat dan senantiasa bersama Nabi -alaihishshalatu wassalam-, karena para sahabat mengira merekalah orangnya. Dan besarnya pahala menunjukkan besarnya nilai amalan itu.
  13. Juga menunjukkan keutamaan anak-anak yang lahir dan meninggal dalam keluarga yang islami sehingga mereka tidak pernah berbuat kesyirikan walaupun sekali di dalam hidupnya.
  14. Makruhnya minta diruqyah dan berobat dengan kay. Adapun meyakini thiyarah maka hukum asalnya adalah syirik asghar.
  15. Semangat para sahabat untuk mendapatkan kebaikan. Terbukti dari permintaan Ukkasyah yang langsung dia ucapkan segera setelah beliau menyebutkan keutamaan tersebut.
  16. Termasuk tawassul yang dibolehkan adalah minta didoakan oleh orang saleh, dan hal ini tidak terkhusus bagi Nabi -alaihishshalatu wassalam- saja.
  17. Di antara 4.900.000 orang itu adalah Ukkasyah bin Mihshan. Sisanya tidak boleh ditetapkan siapa orangnya kecuali dengan dalil. Kepastian seseorang masuk ke dalam surga tidak menunjukkan mereka memasukinya tanpa hisab dan azab, wallahu a’lam. Jadi ini menunjukkan keutamaan Ukkasyah bin Mihshan -radhiallahu anhu-.
  18. Sabda Nabi -alaihishshalatu wassalam-, “Ukkasyah telah mendahuluimu,” termasuk di antara baiknya muamalah beliau kepada para sahabatnya. Beliau tidak mengatakan, “Kamu tidak terpenuhi syarat,” atau “kamu tidak pantas,” dan semacamnya. Hanya saja beliau mengucapkan hal ini untuk mencegah yang lainnya dari meminta. Karena kalau ini dibiarkan maka tentu saja semua orang yang ada di situ dan selainnya akan meminta, sehingga menyebabkan Nabi -alaihishshalatu wassalam- terpaksa harus menolak karena di antara mereka mungkin ada yang tidak memenuhi syarat tapi beliau tidak enak mengatakannya.

5 Perbedaan Antara Nabi dan Rasul

Para ulama menyebutkan banyak perbedaan antara nabi dan rasul, tapi di sini kami hanya akan menyebutkan sebahagian di antaranya:
1. Jenjang kerasulan lebih tinggi daripada jenjang kenabian. Karena tidak mungkin seorang itu menjadi rasul kecuali setelah menjadi nabi. Oleh karena itulah, para ulama menyatakan bahwa Nabi Muhammad -Shollallahu ‘alaihi wasallam- diangkat menjadi nabi dengan 5 ayat pertama dari surah Al-‘Alaq dan diangkat menjadi rasul dengan dengan 7 ayat pertama dari surah Al-Mudatstsir. Telah berlalu keterangan bahwa setiap rasul adalah nabi, tidak sebaliknya.
Imam As-Saffariny -rahimahullah- berkata, “Rasul lebih utama daripada nabi berdasarkan ijma’, karena rasul diistimewakan dengan risalah, yang mana (jenjang) ini lebih ringgi daripada jenjang kenabian”. (Lawami’ Al-Anwar: 1/50)
Al-Hafizh Ibnu Katsir juga menyatakan dalam Tafsirnya (3/47), “Tidak ada perbedaan (di kalangan ulama) bahwasanya para rasul lebih utama daripada seluruh nabi dan bahwa ulul ‘azmi merupakan yang paling utama di antara mereka (para rasul)”.

2. Rasul diutus kepada kaum yang kafir, sedangkan nabi diutus kepada kaum yang telah beriman.
Allah -’Azza wa Jalla- menyatakan bahwa yang didustakan oleh manusia adalah para rasul dan bukan para nabi, di dalam firman-Nya:
ثُمَّ أَرْسَلْنَا رُسُلَنَا تَتْرَى كُلَّ مَا جَاءَ أُمَّةً رَسُولُهَا كَذَّبُوهُ
“Kemudian Kami utus (kepada umat-umat itu) rasul-rasul Kami berturut-turut. Tiap-tiap seorang rasul datang kepada umatnya, umat itu mendustakannya”. (QS. Al-Mu`minun : 44)
Dan dalam surah Asy-Syu’ara` ayat 105, Allah menyatakan:
كَذَّبَتْ قَوْمُ نُوحٍ الْمُرْسَلِينَ
“Kaum Nuh telah mendustakan para rasul”.
Allah tidak mengatakan “Kaum Nuh telah mendustakan para nabi”, karena para nabi hanya diutus kepada kaum yang sudah beriman dan membenarkan rasul sebelumnya. Hal ini sebagaimana yang dinyatakan oleh Nabi -Shollallahu ‘alaihi wasallam-:
كَانَتْ بَنُوْ إِسْرَائِيْلَ تَسُوْسُهُمُ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ
“Dulu bani Isra`il diurus(dipimpin) oleh banyak nab. Setiap kali seorang nabi wafat, maka digantikan oleh nabi setelahnya”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Abu Hurairah)

3. Syari’at para rasul berbeda antara satu dengan yang lainnya, atau dengan kata lain bahwa para rasul diutus dengan membawa syari’at baru. Allah -Subhanahu wa Ta’ala- menyatakan:
لِكُلٍّ جَعَلْنَا مِنْكُمْ شِرْعَةً وَمِنْهَاجًا
“Untuk tiap-tiap umat diantara kamu, kami berikan aturan dan jalan yang terang”. (QS. Al-Ma`idah : 48)
Allah mengabarkan tentang ‘Isa bahwa risalahnya berbeda dari risalah sebelumnya di dalam firman-Nya:
وَلِأُحِلَّ لَكُمْ بَعْضَ الَّذِي حُرِّمَ عَلَيْكُمْ
“Dan untuk menghalalkan bagi kalian sebagian yang dulu diharamkan untuk kalian”. (QS. Ali ‘Imran : 50)
Nabi Muhammad -Shollallahu ‘alaihi wasallam- menyebutkan perkara yang dihalalkan untuk umat beliau, yang mana perkara ini telah diharamkan atas umat-umat sebelum beliau:
وَأُحِلَّتْ لِيَ الْغَنَائِمَ وَجُعِلَتْ لِيَ الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُوْرًا
“Dihalalkan untukku ghonimah dan dijadikan untukku bumi sebagai mesjid (tempat sholat) dan alat bersuci (tayammum)”.(HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Jabir)
Adapun para nabi, mereka datang bukan dengan syari’at baru, akan tetapi hanya menjalankan syari’at rasul sebelumnya. Hal ini sebagaimana yang terjadi pada nabi-nabi Bani Isra`il, kebanyakan mereka menjalankan syari’at Nabi Musa -’alaihis salam-.

4. Rasul pertama adalah Nuh -’alaihis salam-, sedangkan nabi yang pertama adalah Adam -’alaihis salam-.
Allah -’Azza wa Jalla- menyatakan:
إِنَّا أَوْحَيْنَا إِلَيْكَ كَمَا أَوْحَيْنَا إِلَى نُوحٍ وَالنَّبِيِّينَ مِنْ بَعْدِهِ
“Sesungguhnya Kami telah memberikan wahyu kepadamu sebagaimana Kami telah memberikan wahyu kepada Nuh dan nabi-nabi yang setelahnya”. (QS. An-Nisa` : 163)
Dan Nabi Adam berkata kepada manusia ketika mereka meminta syafa’at kepada beliau di padang mahsyar:
وَلَكِنِ ائْتُوْا نُوْحًا فَإِنَّهُ أَوَّلُ رَسُوْلٍ بَعَثَهُ اللهُ إِلَى أَهْلِ الْأَرْضِ
“Akan tetapi kalian datangilah Nuh, karena sesungguhnya dia adalah rasul pertama yang Allah utus kepada penduduk bumi”. (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari Anas bin Malik)
Jarak waktu antara Adam dan Nuh adalah 10 abad sebagaimana dalam hadits shohih yang diriwayatkah oleh Ibnu Hibban (14/69), Al-Hakim (2/262), dan Ath-Thobarony (8/140).

5. Seluruh rasul yang diutus, Allah selamatkan dari percobaan pembunuhan yang dilancarkan oleh kaumnya. Adapun nabi, ada di antara mereka yang berhasil dibunuh oleh kaumnya, sebagaimana yang Allah nyatakan dalam surah Al-Baqarah ayat 91:
فَلِمَ تَقْتُلُونَ أَنْبِيَاءَ اللَّهِ مِنْ قَبْلُ إِنْ كُنْتُمْ مُؤْمِنِينَ
“Mengapa kalian dahulu membunuh nabi-nabi Allah jika benar kalian orang-orang yang beriman?”.
Juga dalam firman-Nya:
وَيَقْتُلُونَ النَّبِيِّينَ بِغَيْرِ حَقٍّ
“Mereka membunuh para nabi tanpa haq”. (QS. Al-Baqarah : 61)
Allah menyebutkan dalam surah-surah yang lain bahwa yang terbunuh adalah nabi, bukan rasul.

Perbedaan Mani, Madzi, Kencing, dan Wadi

Tahukan anda apa perbedaan antara keempat perkara di atas?
Mengetahui hal ini adalah hal yang sangat penting, khususnya perbedaan antara mani dan madzi, karena masih banyak di kalangan kaum muslimin yang belum bisa membedakan antara keduanya. Yang karena ketidaktahuan mereka akan perbedaannya menyebabkan mereka ditimpa oleh fitnah was-was dan dipermainkan oleh setan. Sehingga tidaklah ada cairan yang keluar dari kemaluannya (kecuali kencing dan wadi) yang membuatnya ragu-ragu kecuali dia langsung mandi, padahal boleh jadi dia hanyalah madzi dan bukan mani. Sudah dimaklumi bahwa yang menyebabkan mandi hanyalah mani, sementara madzi cukup dicuci lalu berwudhu dan tidak perlu mandi untuk menghilangkan hadatsnya.

Karenanya berikut definisi dari keempat cairan di atas, yang dari definisi tersebut bisa dipetik sisi perbedaan di antara mereka:
1. Kencing: Masyhur sehingga tidak perlu dijelaskan, dan dia najis berdasarkan Al-Qur`an, Sunnah, dan ijma’.
2. Wadi: Cairan tebal berwarna putih yang keluar setelah kencing atau setelah melakukan pekerjaan yang melelahkan, misalnya berolahraga berat. Wadi adalah najis berdasarkan kesepakatan para ulama sehingga dia wajib untuk dicuci. Dia juga merupakan pembatal wudhu sebagaimana kencing dan madzi.
3. Madzi: Cairan tipis dan lengket, yang keluar ketika munculnya syahwat, baik ketika bermesraan dengan wanita, saat pendahuluan sebelum jima’, atau melihat dan mengkhayal sesuatu yang mengarah kepada jima’. Keluarnya tidak terpancar dan tubuh tidak menjadi lelah setelah mengeluarkannya. Terkadang keluarnya tidak terasa. Dia juga najis berdasarkan kesepakatan para ulama berdasarkan hadits Ali yang akan datang dimana beliau memerintahkan untuk mencucinya.
4. Mani: Cairan tebal yang baunya seperti adonan tepung, keluar dengan terpancar sehingga terasa keluarnya, keluar ketika jima’ atau ihtilam (mimpi jima’) atau onani -wal ‘iyadzu billah-, dan tubuh akan terasa lelah setelah mengeluarkannya.

Berhubung kencing dan wadi sudah jelas kapan waktu keluarnya sehingga mudah dikenali, maka berikut kesimpulan perbedaan antara mani dan madzi:
a. Madzi adalah najis berdasarkan ijma’, sementara mani adalah suci menurut pendapat yang paling kuat.
b. Madzi adalah hadats ashghar yang cukup dihilangkan dengan wudhu, sementara mani adalah hadats akbar yang hanya bisa dihilangkan dengan mandi junub.
c. Cairan madzi lebih tipis dibandingkan mani.
d. Mani berbau, sementara madzi tidak (yakni baunya normal).
e. Mani keluarnya terpancar, berbeda halnya dengan madzi. Allah Ta’ala berfirman tentang manusia, “Dia diciptakan dari air yang terpencar.” (QS. Ath-Thariq: 6)
f. Mani terasa keluarnya, sementara keluarnya madzi kadang terasa dan kadang tidak terasa.
g. Waktu keluar antara keduanyapun berbeda sebagaimana di atas.
h. Tubuh akan melemah atau lelah setelah keluarnya mani, dan tidak demikian jika yang keluar adalah madzi.
Karenanya jika seseorang bangun di pagi hari dalam keadaan mendapatkan ada cairan di celananya, maka hendaknya dia perhatikan ciri-ciri cairan tersebut, berdasarkan keterangan di atas. Jika dia mani maka silakan dia mandi, tapi jika hanya madzi maka hendaknya dia cukup mencuci kemaluannya dan berwudhu. Berdasarkan hadits Ali -radhiallahu anhu- bahwa Nabi -alaihishshalatu wassalam- bersabda tentang orang yang mengeluarkan madzi:
اِغْسِلْ ذَكَرَكَ وَتَوَضَّأْ
“Cucilah kemaluanmu dan berwudhulah kamu.” (HR. Al-Bukhari no. 269 dan Muslim no. 303)

[Update: Anas bin Malik -radhiallahu anhu- berkata:
أَنَّ أُمَّ سُلَيْمٍ حَدَّثَتْ أَنَّهَا سَأَلَتْ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الْمَرْأَةِ تَرَى فِي مَنَامِهَا مَا يَرَى الرَّجُلُ, فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: إِذَا رَأَتْ ذَلِكِ الْمَرْأَةُ فَلْتَغْتَسِلْ. فَقَالَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ: وَاسْتَحْيَيْتُ مِنْ ذَلِكَ. قَالَتْ: وَهَلْ يَكُونُ هَذَا؟ فَقَالَ نَبِيُّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: نَعَمْ, فَمِنْ أَيْنَ يَكُونُ الشَّبَهُ؟! إِنَّ مَاءَ الرَّجُلِ غَلِيظٌ أَبْيَضُ وَمَاءَ الْمَرْأَةِ رَقِيقٌ أَصْفَرُ فَمِنْ أَيِّهِمَا عَلَا أَوْ سَبَقَ يَكُونُ مِنْهُ الشَّبَهُ
“Bahwa Ummu Sulaim pernah bercerita bahwa dia bertanya kepada Nabi Shallallahu'alaihiwasallam tentang wanita yang bermimpi (bersenggama) sebagaimana yang terjadi pada seorang lelaki. Maka Rasulullah Shallallahu'alaihiwasallam bersabda, "Apabila perempuan tersebut bermimpi keluar mani, maka dia wajib mandi." Ummu Sulaim berkata, "Maka aku menjadi malu karenanya". Ummu Sulaim kembali bertanya, "Apakah keluarnya mani memungkinkan pada perempuan?" Nabi Shallallahu'alaihiwasallam bersabda, "Ya (wanita juga keluar mani, kalau dia tidak keluar) maka dari mana terjadi kemiripan (anak dengan ibunya)? Ketahuilah bahwa mani lelaki itu kental dan berwarna putih, sedangkan mani perempuan itu encer dan berwarna kuning. Manapun mani dari salah seorang mereka yang lebih mendominasi atau menang, niscaya kemiripan terjadi karenanya." (HR. Muslim no. 469)
Imam An-Nawawi berkata dalam Syarh Muslim (3/222), "Hadits ini merupakan kaidah yang sangat agung dalam menjelaskan bentuk dan sifat mani, dan apa yang tersebut di sini itulah sifatnya di dalam keadaan biasa dan normal. Para ulama menyatakan: Dalam keadaan sehat, mani lelaki itu berwarna putih pekat dan memancar sedikit demi sedikit di saat keluar. Biasa keluar bila dikuasai dengan syahwat dan sangat nikmat saat keluarnya. Setelah keluar dia akan merasakan lemas dan akan mencium bau seperti bau mayang kurma, yaitu seperti bau adunan tepung.
Warna mani bisa berubah disebabkan beberapa hal di antaranya: Sedang sakit, maninya akan berubah cair dan kuning, atau kantung testis melemah sehingga mani keluar tanpa dipacu oleh syahwat, atau karena terlalu sering bersenggama sehingga warna mani berubah merah seperti air perahan daging dan kadangkala yang keluar adalah darah.”]

Tambahan:
1. Mandi junub hanya diwajibkan saat ihtilam (mimpi jima’) ketika ada cairan yang keluar. Adapun jika dia mimpi tapi tidak ada cairan yang keluar maka dia tidak wajib mandi. Berdasarkan hadits Abu Said Al-Khudri secara marfu’:
إِنَّمَا الْمَاءُ مِنَ الْمَاءِ
“Sesungguhnya air itu hanya ada dari air.” (HR. Muslim no. 343)
Maksudnya: Air (untuk mandi) itu hanya diwajibkan ketika keluarnya air (mani).
2. Mayoritas ulama mempersyaratkan wajibnya mandi dengan adanya syahwat ketika keluarnya mani -dalam keadaan terjaga. Artinya jika mani keluar tanpa disertai dengan syahwat -misalnya karena sakit atau cuaca yang terlampau dingin atau yang semacamnya- maka mayoritas ulama tidak mewajibkan mandi junub darinya. Berbeda halnya dengan Imam Asy-Syafi’i dan Ibnu Hazm yang keduanya mewajibkan mandi junub secara mutlak bagi yang keluar mani, baik disertai syahwat maupun tidak. Wallahu a’lam.
Demikian sekilas hukum dalam masalah ini, insya Allah pembahasan selengkapnya akan kami bawakan pada tempatnya.

hukum mengadopsi anak dari zina

Tanya:
Assalaamu’alaikum ust,
Ana ingin bertanya beberapa soalan berkenaan anak angkat dan ibu susuan:
a)Apakah dibolehkan mengambil anak angkat dari hasil penzinaan dimana si ibu tidak mampu menjaga anak itu?

b)Bolehkah seorang wanita memakan pil dari doktor untuk memperbanyakkan susunya supaya ia boleh menjadi ibu susuan kepada anak angkatnya?

c)Siapakah yang berhak atas anak yang lahir dari perzinaan, ibu kandungnya atau ibu angkat/ibu susuannya?
“Ibnu Ismail”

Jawab:
Waalaikumussalam warahmatullah.
1. Ia boleh, bahkan itu termasuk perbuatan yang terpuji kalau memang ibu kandungnya tidak bisa merawatnya. Hanya saja anak itu tidak akan bisa menjadi mahramnya kecuali melalui jalur syar’i, yaitu dengan disusui sehingga dia menjadi anak susuannya. Adapun keberadaan dia sebagai anak zina maka dosa ibunya tidaklah menyebabkan dia boleh diperlakukan seenaknya, karena seorang tidak menanggung dosa yang tidak dia lakukan.

2. Boleh saja, dengan syarat pil tersebut tidak menimbulkan mudharat baginya dan tentunya harus ada izin dari suaminya.

3. Jika ibu kandungnya bisa merawat anaknya dengan baik, baik dari sisi ekonomi maupun akhlaknya ke depan, maka tentu saja ibu kandungnya lebih berhak untuk merawat karena dia merupakan darah dagingnya sendiri.
Demikian, wallahu Ta’ala a’lam.

Bolehnya Kencing Berdiri..??

Dari Abu Hurairah  bahwasanya Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- bersabda:
اتَّقُوا اللَّاعِنَيْنِ قَالُوا وَمَا اللَّاعِنَانِ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ الَّذِي يَتَخَلَّى فِي طَرِيقِ النَّاسِ أَوْ ظِلِّهِمْ
“Takutlah kalian terhadap perihal dua orang yang terlaknat.” Mereka (para sahabat) bertanya, “Siapakah dua orang yang terlaknat itu wahai Rasulullah?” Beliau menjawab, “Yaitu orang yang buang air di jalanan manusia atau tempat berteduhnya mereka.” (HR. Abu Daud no. 25)
Dari Jabir  dari Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam-:
أَنَّهُ نَهَى أَنْ يُبَالَ فِي الْمَاءِ الرَّاكِدِ
“Bahwa beliau melarang kencing pada air yang diam (tidak mengalir).” (HR. Muslim no. 281)
Dari Huzaifah -radhiallahu anhu- dia berkata:
كُنْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَانْتَهَى إِلَى سُبَاطَةِ قَوْمٍ فَبَالَ قَائِمًا فَتَنَحَّيْتُ فَقَالَ ادْنُهْ فَدَنَوْتُ حَتَّى قُمْتُ عِنْدَ عَقِبَيْهِ فَتَوَضَّأَ فَمَسَحَ عَلَى خُفَّيْهِ
“Aku pernah berjalan bersama Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam-, saat kami sampai di tempat pembuangan sampah suatu kaum beliau kencing sambil berdiri, maka aku pun menjauh dari tempat tersebut. Akan tetapi beliau bersabda, “Mendekatlah,” aku pun menghampiri beliau hingga aku berdiri di belakang kedua tumitnya. Kemudian beliau berwudlu dengan mengusap di atas kedua khuf (sepatu) beliau.” (HR. Al-Bukhari no. 225 dan Muslim no. 273)
Dari Al-Mughirah bin Syu’bah -radhiallahu anhu- dia berkata:
كُنْتُ مَعَ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي سَفَرٍ فَقَالَ يَا مُغِيرَةُ خُذْ الْإِدَاوَةَ فَأَخَذْتُهَا فَانْطَلَقَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَتَّى تَوَارَى عَنِّي فَقَضَى حَاجَتَهُ
“Aku pernah bersama Nabi -shallallahu ‘alaihi wasallam- dalam suatu perjalanan, lalu beliau bersabda, “Wahai Mughirah, ambilkan segayung air.” Aku lalu mengambil air untuk beliau, kemudian Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wasallam- pergi menjauh hingga tidak terlihat olehku, lalu beliau buang hajat.” (HR. Al-Bukhari no. 203 dan Muslim no. 274)

Penjelasan ringkas:
Di antara pokok mendasar dalam syariat Islam adalah haramnya mengganggu dan menimpakan kemudharatan kepada kaum muslimin. Karenanya dalam adab buang air, Islam juga menuntunkan agar dalam pelaksanaannya jangan sampai mengganggu kaum muslimin, karena mengganggu kaum muslimin merupakan dosa yang besar. Allah Ta’ala berfirman, “Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata.” (QS. Al-Ahzab: 58)

Di antara bentuk menyakiti kaum muslimin adalah membuang najis dan kotoran di tempat mereka biasa berjalan atau di tempat berteduh mereka atau di tempat air dimana mereka biasa mengambil air dari situ. Karenanya Nabi -alaihishshalatu wassalam- telah mengharamkan buang air pada ketiga tempat tadi dan diikutkan kepadanya semua tempat yang bisa mengganggu kaum muslimin kalau seseorang buang air di situ.

Di antara adab dalam buang air adalah bahwa dalam buang air besar, seseorang diharuskan untuk bersembunyi dari orang lain, baik itu dengan cara menjauh ke tempat yang sunyi sampai tidak ada orang yang melihat -sebagaimana dalam hadits Al-Mughirah di atas, maupun dengan buang air di dalam wc atau di dalam rumah -sebagaimana dalam hadits Ibnu Umar yang telah berlalu kami bawakan kemarin-.

Adapun dalam buang air kecil, maka tidak diharuskan seseorang itu untuk bersembunyi dan menjauh dari orang-orang akan tetapi dia boleh buang air di tempat terbuka. Yang dia lakukan cukup menjaga jangan sampai auratnya (kemaluan) tidak terlihat oleh orang lain walaupun tubuhnya terlihat oleh orang lain. Inilah yang disebutkan dalam hadits Huzaifah di atas, dimana beliau hanya menyuruh agar Huzaifah menjadi penghalang beliau dari belakang beliau. Dan tidak diragukan bahwa tubuh beliau tetap terlihat akan tetapi aurat beliau terjaga, dan ini bukanlah hal yang makruh.

Juga dibolehkan seseorang itu kencing berdiri -sebagaimana hadits Huzaifah di atas- dengan dua syarat:
1. Auratnya tidak terlihat orang lain.
2. Kencingnya tidak terpercik kembali mengenai tubuh dan pakaiannya.
Jika ini tidak terpenuhi maka dia wajib untuk kencing dalam keadaan duduk, dan memang inilah yang kebanyakannya beliau lakukan, yakni kencing dalam keadaan duduk. Dari Aisyah -radhiallahu anha- dia berkata:
مَنْ حَدَّثَكُمْ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَبُولُ قَائِمًا فَلَا تُصَدِّقُوهُ مَا كَانَ يَبُولُ إِلَّا قَاعِدًا
“Barangsiapa yang menceritakan kepada kalian bahwa Nabi -shallahu ‘alaihi wasallam- buang air kecil sambil berdiri maka janganlah kalian percayai, karena beliau tidak pernah buang air kecil kecuali dengan duduk.” (HR. At-Tirmizi no. 12 dan An-Nasai no. 29)
Maka hadits ini menunjukkan bahwa di rumah Aisyah, Nabi  tidak pernah kencing berdiri. Maka penafian Aisyah di sini hanya sebatas pengetahuan beliau, sementara Huzaifah telah menetapkan bahwa beliau kencing dalam keadaan berdiri. Pendapat bolehnya kencing berdiri merupakan pendapat sekelompok sahabat di antaranya: Umar, Huzaifah, Zaid bin Tsabit, Ali, Anas, Abu Hurairah, Ibnu Umar, dan Urwah.

Di antara perkara yang tersebut dalam hadits di atas adalah: Bolehnya minta diambilkan dan dibawakan air untuk buang air dan bolehnya mengusap sepatu dalam berwudhu dan tidak perlu mencuci kedua kaki. Wallahu a’lam

Bolehkah Perokok Masuk Masjid..?

Dari Ibnu Umar -radhiallahu ‘anhuma-, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ أَكَلَ مِنْ هَذِهِ الشَّجَرَةِ يَعْنِي الثُّومَ فَلَا يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا
“Barangsiapa memakan dari pohon ini, yaitu bawang putih, maka jangan sekali-kali dia mendekati masjid kami.” (HR. Al-Bukhari no. 339 dan Muslim no. 561)
Dari Jabir bin Abdullah  dari Nabi Shallallahu’alaihiwasallam bahwa beliau bersabda:
مَنْ أَكَلَ مِنْ هَذِهِ الْبَقْلَةِ الثُّومِ و قَالَ مَرَّةً مَنْ أَكَلَ الْبَصَلَ وَالثُّومَ وَالْكُرَّاثَ فَلَا يَقْرَبَنَّ مَسْجِدَنَا فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَتَأَذَّى مِمَّا يَتَأَذَّى مِنْهُ بَنُو آدَمَ
“Barangsiapa yang makan sayur bawang putih ini, -dan pada kesempatan lain beliau bersabda, “Barangsiapa makan bawang merah dan putih serta bawang bakung,”- maka janganlah dia mendekati masjid kami, karena malaikat merasa terganggu dari bau yang juga manusia merasa terganggu (disebabkan baunya).” (HR. Muslim no. 564)
Dari Aisyah -radhillahu anha- dia berkata:
أَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِبِنَاءِ الْمَسَاجِدِ فِي الدُّورِ وَأَنْ تُنَظَّفَ وَتُطَيَّبَ
“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memerintahkan untuk membangun masjid di tempat yang banyak rumahnya (pemukiman), dan juga memerintahkan untuk membersihkan serta memberikan wewangian padanya.” (HR. Abu Daud no. 455 , AT-Tirmizi no. 542, Ibnu Majah no. 751, dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Misykah Al-Mashabih no. 717)
Dari Ibnu Abbas -radhiallahu ‘anhuma- dia berkata: Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:
مَا أُمِرْتُ بِتَشْيِيدِ الْمَسَاجِدِ
قَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ: لَتُزَخْرِفُنَّهَا كَمَا زَخْرَفَتْ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى
“Saya tidaklah diperintahkan untuk meninggikan masjid-masjid.”
Ibnu Abbas berkata, “Sungguh kalian akan meninggikan masjid-masjid sebagaimana orang-orang Yahudi dan Nasrani meninggikan (tempat ibadah mereka).”
(HR. Abu Daud no. 448 dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Al-Misykah no. 718)

Penjelasan ringkas:
Masjid adalah tempat yang baik dan juga tempatnya orang-orang yang baik, karenanya dia sepatutnya disucikan dari bau-bau yang busuk dan sebaliknya senantiasa diwangikan dengan bau-bau yang harum. Hal ini jauh lebih utama dan lebih penting daripada menghias-hiasi dan meninggikan masjid tersebut, karena kedua amalan ini bukanlah tuntunan Nabi -alaihishshalatu wassalam-.

Maka hadits ini tegas menunjukkan larangan masuk masjid kepada siapa saja yang membawa bau busuk, baik pada badannya maupun pada mulutnya. Sebabnya karena para malaikat akan merasa terganggu karenanya sebagaimana manusia juga terganggu karenanya. Karenanya barangsiapa yang badannya berbau tidak sedap, maka hendaknya dia mandi terlebih dahulu atau minimal memakai wangi-wangian yang bisa menghilangkan bau badannya sebelum dia mendatangi masjid. Demikian pula orang yang mulutnya bau karena memakan bawang-bawangan yang mentah (bukan yang sudah dimasak/digoreng) atau habis minum miras atau habis menghisap rokok dan semacamnya yang menyebabkan mulutnya berbau tidak sedap, maka hendaknya dia menghilangkan dulu bau mulutnya sebelum ke masjid. Jika tidak maka dia telah terjatuh ke dalam larangan Nabi -alaihishshalatu wassalam- yang tersebut dalam hadits Ibnu Umar dan Jabir di atas.

Sebaliknya Islam menuntunkan agar masjid senantiasa dibersihkan dari semua hal-hal yang bisa menganggu kekhusyuan ibadah dan mewangikan masjid dengan pengharum ruangan atau dengan membakar bukhur (kayu yang asapnya wangi).

Menjaga kekhusyuan orang yang beribadah inilah yang menjadi inti dari dibangunnya masjid, karenanya termasuk melampaui batas dan mubazzir tatkala masjid dibangun atau dihiasi atau direnovasi bukan untuk tujuan ini. Sungguh Nabi -alaihishshalatu wassalam- telah menyatakan terlarangnya meninggikan masjid karena hal itu merupakan perbuatan orang-orang kafir. Yang dimaksud dengan meninggikan masjid di sini bukanlah membangunnya dalam 2 lantai atau lebih, karena hal ini terkadang dibutuhkan untuk menampung jamaah. Akan tetapi yang dimaksud dalam larangan ini adalah meninggikan atap masjid tanpa keperluan, sebagaimana tingginya atap-atap gereja. Juga termasuk dalam larangan ini adalah menghias-hiasi masjid dengan perkara yang tidak bermanfaat bahkan cenderung mengganggu orang yang shalat, misalnya dengan menuliskan kaligrafi pada dinding atau meletakkan tegel yang bercorak di depan atau di bawah (pada sajadah) orang yang shalat, yang bisa mengganggu kekhusyuan orang yang shalat. Dan demikian seterusnya.

Di antara hukum yang berkenaan dengan masjid adalah, hendaknya kaum muslimin membangun satu masjid untuk tiap pemukiman. Yang mana ini bertujuan untuk lebih menghidupkan pemukiman tersebut dengan syiar islam dan untuk mempermudah kaum muslimin dalam beribadah kepada Allah Ta’ala. Dan hendaknya mereka jangan membangun dua atau lebih masjid di dalam satu pemukiman kecuali dengan adanya izin pemerintah serta mempunyai alasan syar’i dalam pembangunannya. Karena sungguh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya mencela pembangunan masjid yang bertujuan hanya untuk menandingi masjid lainya, dan juga karena hal itu akan menyebabkan perpecahan di kalangan kaum muslimin dan mempersedikit jumlah jamaah pada masjid yang pertama.

kapan sholat dilarang..???

Dari Uqbah bin Amir radhiallahu anhu dia berkata:
ثَلاَثُ سَاعَاتٍ كَانَ النَّبِيُّ صلى الله عليه وسلم يَنْهَانَا أَنْ نُصَلِّيَ فِيْهِنَّ أَوْ أَنْ نَقْبُرَ فِيْهِنَّ مَوْتَانَا: حِيْنَ تَطْلُعُ الشَّمْسُ بَازِغَةً حَتَّى تَرْتَفِعَ، وَحِيْنَ يَقُوْمُ قَائِمُ الظَّهِيْرَةِ حَتَّى تَمِيْلَ الشَّمْسُ، وَحِيْنَ تَضَيَّف لِلْغُرُوْبِ حَتَّى تَغْرُبَ
“Ada tiga waktu di mana Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang kami untuk melaksanakan shalat di tiga waktu tersebut atau menguburkan jenazah kami: Yaitu ketika matahari terbit sampai tinggi, ketika seseorang berdiri di tengah hari saat matahari berada tinggi di tengah langit (tidak ada bayangan di timur dan di barat) sampai matahari tergelincir dan ketika matahari miring hendak tenggelam sampai benar-benar tenggelam.” (HR. Muslim no. 1926)
Dari Abu Said Al-Khudri radhiyallahu ‘anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa beliau bersabda:
لاَ صَلاَةَ بَعْدَ الصُّبْحِ حَتَّى تَرْتَفِعَ الشَّمْسُ وَلاَ صَلاَةَ بَعْدَ الْعَصْرِ حَتَّى تَغِيْبَ الشَّمْسُ
“Tidak ada shalat setelah subuh sampai matahari tinggi dan tidak ada shalat setelah ashar sampai matahari tenggelam.” (HR. Al-Bukhari no. 586 dan Muslim no. 1920)

Penjelasan ringkas:
Syariat telah membatasi waktu-waktu pelaksanaan shalat, dimana ada 5 waktu dimana seorang muslim dilarang shalat pada waktu tersebut, yaitu:
1. Ketika matahari mulai terbit hingga dia agak tinggi.
2. Ketika matahari tepat berada di tengah langit hingga dia tergelincir.
3. Ketika matahari mulai tenggelam hingga dia tenggelam sempurna.
4. Setelah shalat subuh hingga matahari meninggi.
5. Setelah shalat ashar hingga matahari terbenam.

Adapun hikmah pelarangannya, maka disebutkan dalam hadits Amr bin Abasah dimana Nabi -alaihishshalatu wassalam- bersabda:
صَلِّ صَلاَةَ الصُّبْحِ ثُمَّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلاَةِ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ حَتَّى تَرْتَفِعَ، فَإِنَّهَا تَطْلُعُ حِيْنَ تَطْلُعُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ، وَحِيْنَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ؛ ثُمَّ صَلِّ فَإِنَّ الصَّلاَةَ مَشْهُودَةٌ مَحْضُوْرَةٌ، حَتَّى يَسْتَقِلَّ الظِّلُّ بِالرُّمْحِ، ثُمَّّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلاَةِ، فَإِنَّ حِيْنَئِذٍ تُسْجَرُ جَهَنَّمُ. فَإِذَا أَقْبَلَ الْفَيْءُ فَصَلِّ فَإِنَّ الصَّلاَةَ مَشْهُوْدَةٌ مَحْضُورَةٌ، حَتَّى تُصَلِّيَ الْعَصْرَ، ثُمَّ أَقْصِرْ عَنِ الصَّلاَةِ حَتَّى تَغْرُبَ الشَّمْسُ، فَإِنَّهَا تَغْرُبُ بَيْنَ قَرْنَيْ شَيْطَانٍ، وَحِيْنَئِذٍ يَسْجُدُ لَهَا الْكُفَّارُ
“Kerjakanlah shalat subuh kemudian tahanlah dari mengerjakan shalat ketika matahari terbit sampai tinggi karena matahari terbit di antara dua tanduk setan dan ketika itu orang-orang kafir sujud kepada matahari. Kemudian shalatlah karena shalat itu disaksikan dihadiri (oleh para malaikat) hingga tombak tidak memiliki bayangan, kemudian tahanlah dari mengerjakan shalat karena ketika itu neraka Jahannam dinyalakan/dibakar dengan nyala yang sangat. Apabila telah datang bayangan (yang jatuh ke arah timur/saat matahari zawal) shalatlah karena shalat itu disaksikan dihadiri (oleh para malaikat) hingga engkau mengerjakan shalat ashar (terus boleh mengerjakan shalat sampai selesai shalat ashar, pent.), kemudian tahanlah dari mengerjakan shalat hingga matahari tenggelam karena matahari tenggelam di antara dua tanduk syaitan dan ketika itu orang-orang kafir sujud kepada matahari.” (HR. Muslim no. 1927)

Kemudian, para ulama mengecualikan ada dua jenis shalat yang boleh dikerjakan pada waktu-waktu terlarang ini, yaitu:
1. Shalat wajib. Imam An-Nawawi dalam Al-Mihnaj (6/351) menukil kesepakatan para ulama akan bolehnya mengerjakan shalat wajib yang ditunaikan pada waktu-waktu terlarang tersebut.
2. Shalat-shalat sunnah yang dikerjakan karena ada sebab, seperti tahiyatul masjid, shalat gerhana (bagi yang menganggap keduanya sunnah), shalat sunnah wudhu, dan semacamnya. Mazhab Asy-Syafi’iah membolehkan shalat-shalat sunnah semacam ini untuk dikerjakan pada wakt-waktu terlarang, dan tidak makruh sama sekali.
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah berkata dalam ta’liq beliau terhadap kitab Fath Al-Bari (2/59), “Pendapat ini (yakni mengarahkan larangan shalat kepada shalat yang tidak mempunyai sebab dan dikecualikan dari larangan ini semua shalat yang punya sebab) adalah pendapat yang paling benar. Ini adalah mazhab Asy-Syafi’i, salah satu dari dua riwayat dari Ahmad, serta pendapat yang dipilih oleh Syaikh Al-Islam Ibnu Taimiah dan muridnya Al-Allamah Ibnu Al-Qayyim. Dengan pendapat inilah, semua hadits yang lahiriahnya bertentangan bisa dipadukan.”

larangan tempat sholat

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
صَلُّوا فِي مَرَابِضِ الْغَنَمِ وَلَا تُصَلُّوا فِي أَعْطَانِ الْإِبِلِ
“Shalatlah kalian di kandang kambing dan jangan kalian shalat di tempat menderumnya unta.” (HR. At-Tirmizi no. 348)
Jundab radhiallahu anhu berkata:
سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَبْلَ أَنْ يَمُوتَ بِخَمْسٍ وَهُوَ يَقُولُ إِنِّي أَبْرَأُ إِلَى اللَّهِ أَنْ يَكُونَ لِي مِنْكُمْ خَلِيلٌ فَإِنَّ اللَّهَ تَعَالَى قَدْ اتَّخَذَنِي خَلِيلًا كَمَا اتَّخَذَ إِبْرَاهِيمَ خَلِيلًا وَلَوْ كُنْتُ مُتَّخِذًا مِنْ أُمَّتِي خَلِيلًا لَاتَّخَذْتُ أَبَا بَكْرٍ خَلِيلًا أَلَا وَإِنَّ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ كَانُوا يَتَّخِذُونَ قُبُورَ أَنْبِيَائِهِمْ وَصَالِحِيهِمْ مَسَاجِدَ أَلَا فَلَا تَتَّخِذُوا الْقُبُورَ مَسَاجِدَ إِنِّي أَنْهَاكُمْ عَنْ ذَلِكَ
“Lima hari menjelang Rasulullah Shallallahu’alaihiwasallam wafat, aku mendengar beliau bersabda, “Aku berlepas diri kepada Allah dari mengambil salah seorang di antara kalian sebagai kekasih, karena Allah Ta’ala telah menjadikanku sebagai kekasih sebagaimana Dia menjadikan Ibrahim sebagai kekasih. Dan kalaupun seandainya aku mengambil salah seorang dari umatku sebagai kekasih, niscaya aku akan menjadikan Abu Bakar sebagai kekasih. Ketahuilah bahwa sesungguhnya orang-orang sebelum kalian itu menjadikan kuburan para nabi dan orang-orang shalih dari mereka sebagai masjid, maka janganlah kalian menjadikan kuburan-kuburan itu sebagai masjid, karena sungguh aku melarang kalian dari hal itu.” (HR. Muslim no. 532)
Dari Abu Said Al-Khudri radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
الْأَرْضُ كُلُّهَا مَسْجِدٌ إِلَّا الْحَمَّامَ وَالْمَقْبَرَةَ
“Semua tempat di bumi ini adalah masjid (dapat digunakan untuk shalat atau bersujud) kecuali kamar mandi dan kuburan”. (HR. Abu Daud no. 492 dan At-Tirmizi no. 317, seta dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Al-Irwa’: 1/320)

Penjelasan ringkas:
Hukum asal dari semua dataran di bumi adalah suci dan bisa dijadikan tempat shalat, dan ini termasuk dari kemudahan Allah kepada umat ini. Karenanya, kapan salah seorang di antara kalian didapati oleh waktu shalat, maka hendaknya dia mengerjakan shalat dimanapun dia berada ketika itu. Inilah yang menjadi hukum asalnya. Akan tetapi syariat mengecualikan beberapa tempat dimana seorang muslim tidak boleh shalat di situ, terkadang karena shalat di situ bisa menjadi wasilah kesyirikan seperti shalat di kuburan, terkadang karena tempat tersebut adalah tempat berdiamnya setan seperti tempat-tempat menderumnya onta, dan terkadang karena tempatnya najis seperti wc dan tempat buang air.
a. Adapun kubur atau pekuburan, maka tidak boleh shalat di atasnya atau di tengah pekuburan atau shalat menghadapnya tanpa ada sesuatu yang memisahkan antara dirinya dengan kuburan/pekuburan semisal dinding, pagar, atau jalan. Termasuk dalam larangan ini adalah shalat di dalam masjid yang di dalamnya ada kuburan.
Selengkapnya, silakan baca artikel berikut: http://al-atsariyyah.com/?p=1119

b. Adapun larangan shalat di kandang atau tempat menderumnya onta, maka kami katakan:
Ibnu Hazm -rahimahullah- telah berkata dalam Al-Muhalla (4/25), “Hadits-hadits larangan shalat di tempat perhentian unta dinukil secara mutawaatir, dapat diyakini kebenarannya.”
Adapun sebab terlarangnya shalat di kandang onta, maka bukan dikarenakan karena kotoran onta itu najis. Akan tetapi sebabnya telah ditegaskan dalam hadits. Dari Abdullah bin Mughaffal Al Muzani dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
صَلُّوا فِي مَرَابِضِ الْغَنَمِ وَلَا تُصَلُّوا فِي أَعْطَانِ الْإِبِلِ فَإِنَّهَا خُلِقَتْ مِنْ الشَّيَاطِينِ
“Shalatlah kalian di kandang kambing dan jangan shalat di kandang unta, sebab ia diciptakan dari setan.” (HR. An-Nasai, Ibnu Majah, dan Ahmad)
Dalam riwayat salah satu riwayat Ahmad, “Janganlah kalian shalat di tempat penambatan unta, karena dia diciptakan dari jin. Tidakkah kalian lihat matanya dan keadaannya ketika sedang mengamuk?”
Maka dari sini, Asy-Syafi’iyah dan Al-Malikiah menyatakan bahwa sebab larangan shalat di kandang onta adalah karena sifat unta yang suka mengamuk. Kadangkala unta mengamuk sementara orang itu sedang mengerjakan shalat sehingga dia terpaksa memutuskan shalatnya, atau dapat membahayakan dirinya, atau dapat mengganggu konsentrasinya dan memalingkannya dari kekhusyu’an dalam shalat. Karenanya berdasarkan hal ini, perlu dibedakan hukum shalat antara onta itu sedang berada di kandangnya atau tidak. Jika onta itu sedang di kandangnya maka tidak boleh shalat di situ, sementara jika dia sedang di luar kandang dan tidak dikhawatirkan dia akan kembali di tengah dia sedang shalat, maka insya Allah boleh shalat di kandang onta.

c.Adapun masalah shalat di dalam wc maka sudah jelas larangannya. Hanya saja sekedar tambahan faidah, Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baaz rahimahullah berkata dalam Fatawa Islamiah (1/270), “Boleh shalat menghadap (bukan di dalam, pent.) ke wc atau di atas atapnya menurut pendapat yang paling benar dari dua pendapat di kalangan ulama.”

menahan emosi

Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata:
أَنَّ رَجُلًا قَالَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْصِنِي قَالَ لَا تَغْضَبْ فَرَدَّدَ مِرَارًا قَالَ لَا تَغْضَبْ
“Seorang laki-laki berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, “Berilah aku wasiat?” Beliau bersabda, “Janganlah kamu marah.” Laki-laki itu mengulangi kata-katanya, tapi beliau tetap bersabda, “Janganlah kamu marah.” (HR. Al-Bukhari no. 6116)
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَيْسَ الشَّدِيدُ بِالصُّرَعَةِ إِنَّمَا الشَّدِيدُ الَّذِي يَمْلِكُ نَفْسَهُ عِنْدَ الْغَضَبِ
“Bukanlah orang yang kuat adalah orang yang bisa mengalahkan orang lain, tapi orang yang kuat adalah orang yang dapat menahan emosinya ketika dia marah.” (HR. Al-Bukhari no. 6114 dan Muslim no. 2608)
Dari Abu Dzar radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada kami:
إِذَا غَضِبَ أَحَدُكُمْ وَهُوَ قَائِمٌ فَلْيَجْلِسْ فَإِنْ ذَهَبَ عَنْهُ الْغَضَبُ وَإِلَّا فَلْيَضْطَجِعْ
“Jika salah seorang dari kalian marah dan dia dalam keadaan berdiri, maka hendaklah dia duduk. Jika rasa marahnya hilang (maka itu yang dikehendaki), jika tidak maka hendaklah dia berbaring.” (HR. Abu Daud no. 4782 dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Al-Misykah 5114)
Sulaiman bin Shurd radhiallahu anhu berkata: Ada dua orang yang saling mencerca di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, sementara kami duduk-duduk di samping beliau. Salah seorang dari keduanya mencerca yang lainnya karena marah, hingga wajahnya memerah. Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
إِنِّي لَأَعْلَمُ كَلِمَةً لَوْ قَالَهَا لَذَهَبَ عَنْهُ مَا يَجِدُ لَوْ قَالَ أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنْ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ
“Sesungguhnya saya mengetahui suatu kalimat yang apabila dia membacanya, niscaya akan hilang (kemarahan) yang dia rasakan. Sekiranya dia membaca: ‘AUDZU BILLAHI MINASY SYAITHANIR RAJIM.” (HR. Al-Bukhari no. 5115 dan Muslim no. 2610)

Penjelasan Ringkas:
Marah adalah kebalikan dari sabar, karenanya jika sabar merupakan akhlak yang mulia maka marah merupakan akhlak yang tercela. Hal itu karena marah biasanya akan menyeret pelakunya pada perkara-perkara yang tidak terpuji bahkan pada perkara-perkara yang dia sendiri tidak senangi, dan dia baru menyadari kesalahan besarnya setelah marahnya hilang padahal dia sudah tidak bisa lagi memperbaiki apa yang telah dia rusak.

Betapa banyak kasus perceraian (talak 3) yang terjadi akibat kemarahan sesaat, dan setelah emosinya reda dia ingin kembali kepada istrinya padahal dia tidak mungkin lagi untuk kembali, kecuali setelah istrinya menikah dengan lelaki lain. Betapa banyak pembunuhan yang terjadi baik antara keluarga dekat maupun antara teman yang diakibatkan oleh emosi sesaat yang tidak terkontrol, nas`alullahas salamah wal afiyah.

Kemarahan berasal dari Iblis, karena dialah makhluk yang pertama kali marah dengan ketetapan Allah, sehingga lahirlah hasad dan penentangan kepada Allah Ta’ala yang membuatnya dilaknat oleh Allah selama-lamanya. Karenanya sangat wajar jika Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menyatakan bahwa sifat marah ini termasuk dari rukun-rukun kekafiran, yakni perkara yang bisa mengantarkan seseorang kepada kekafiran. Maka tatkala dia berasal dari fitnah setan, maka Nabi shallallahu alaihi wasallam sangat bersemangat untuk menjaga umatnya dari fitnah ini, baik dalam bentuk pencegahan maupun dalam bentuk pengobatan. Pencegahan dengan cara mewasiatkan umatnya untuk tidak marah, sementara pengobatan dengan cara membaca ta’awudz dan merubah posisi tubuh ketika marah.

Sifat Lemah Lembut & Tidak Tergesa-Gesa

Allah Ta’ala berfirman:
فَبِمَا رَحْمَةٍ مِّنَ اللّهِ لِنتَ لَهُمْ وَلَوْ كُنتَ فَظًّا غَلِيظَ الْقَلْبِ لاَنفَضُّواْ مِنْ حَوْلِكَ
“Maka disebabkan rahmat dari Allah-lah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka akan menjauhkan diri dari sekelilingmu.” (QS. Ali Imran: 159)
Dari Aisyah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasalam beliau bersabda::
إِنَّ اللَّهَ رَفِيقٌ يُحِبُّ الرِّفْقَ فِي الأَمْرِ كُلِّهِ
“Sesungguhnya Allah Maha Lembut yang mencintai kelembutan dalam seluruh perkara.” (HR. Al Bukhari no. 6024 dan Muslim no. 2165)
Dari Abdullah bin Abbas radhiallahu anhuma dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda kepada Asyyaj Abdil Qais:
إِنَّ فِيكَ خَصْلَتَيْنِ يُحِبُّهُمَا اللَّهُ الْحِلْمُ وَالْأَنَاةُ
“Sesungguhnya di dalam dirimu ada dua sifat yang dicintai oleh Allah, yaitu sabar dan berhati-hati.” (HR. Muslim no. 5225)
Dari Aisyah istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam beliau telah bersabda:
إِنَّ الرِّفْقَ لَا يَكُونُ فِي شَيْءٍ إِلَّا زَانَهُ وَلَا يُنْزَعُ مِنْ شَيْءٍ إِلَّا شَانَهُ
“Sesungguhnya sifat lemah lembut itu tidak berada pada sesuatu melainkan dia akan menghiasinya (dengan kebaikan). Sebaliknya, tidaklah sifat itu dicabut dari sesuatu, melainkan dia akan membuatnya menjadi buruk.” (HR. Muslim no. 2594)
Dari Jarir bin Abdillah Al-Bajali dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
مَنْ يُحْرَمْ الرِّفْقَ يُحْرَمْ الْخَيْرَ
“Barangsiapa yang dijauhkan dari sifat lemah lembut (kasih sayang), berarti dia dijauhkan dari kebaikan.” (HR. Muslim no. 2592)
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam bersabda:
أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِمَنْ يَحْرُمُ عَلَى النَّارِ أَوْ بِمَنْ تَحْرُمُ عَلَيْهِ النَّارُ عَلَى كُلِّ قَرِيبٍ هَيِّنٍ سَهْلٍ
“Maukah kalian aku beritahu orang yang diharamakan atas neraka atau orang yang neraka diharamkan atasnya? Semua kerabat yang lemah lembut lagi memberikan kemudahan.” (HR. At-Tirmizi no. 2488 dan dinyatakan shahih oleh Al-Albani dalam Shahih Al-Jami’ no. 2609)
Dari Aidz bin Amr radhiallahu anhu dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam beliau bersabda:
إِنَّ شَرَّ الرِّعَاءِ الْحُطَمَةُ فَإِيَّاكَ أَنْ تَكُونَ مِنْهُمْ
“Sesungguhnya sejelek-jelek pengembala ternak adalah orang yang kasar kepada hewan gembalaannya.” (HR. Muslim no. 1830)

Penjelasan ringkas:
Sifat lemah lembut dan tidak tergesa-gesa merupakan sifat yang sangat dicintai oleh Allah Ta’ala dan sangat dianjurkan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasalam. Dia merupakan sebab yang bisa mendatangkan kebaikan karena dia merupakan sebab tersebarnya kasih sayang, persatuan, dan kesatuan di tengah-tengah kaum muslimin. Bahkan Allah Ta’ala mengabarkan bahwa sebab terbesar tersebarnya Islam di kalangan sahabat dan mendekatkanya kaum muslimin kepada Nabi shallallahu alaihi wasallam adalah dikarenakan Allah Ta’ala menganugerahkan kepada beliau sifat lemah lembut. Dan sungguh betapa banyak orang non muslim yang masuk Islam bukan karena didakwahi secara langsung, akan tetapi karena dia melihat sifat kelemahlembutan yang ada pada kaum muslimin.

Sebaliknya, sifat kasar lagi keras merupakan akhlak tercela yang dibenci oleh Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Karenanya Islam memperingatkan umatnya agar menjauhi sifat tersebut, karena sifat tersebut tidaklah keluar kecuali dari diri seorang yang sombong lagi takabbur. Karenanya sifat kasar ini diharamkan secara mutlak, baik kepada binatang apalagi kepada sesama manusia secara umum (termasuk orang kafir) apalagi kepada sesama muslim. Dan tidaklah sifat kasar ini ada pada sesuatu kecuali akan mencoreng sesuatu tersebut, sebagaimana sifat lemah lembut akan menghiasi tempatnya berada.

Adapun sifat tidak tergesa-gesa, maka dia merupakan sifat dari setan dan dibenci oleh Ar-Rahman. Dengan sifat kehati-hatian, seseorang insya Allah bisa mendapatkan apa yang dia cari dan dengan sangat banyak orang yang luput dari kebaikan yang dia inginkan akibat sifat ketergesa-gesaan. Sahl bin Sa’ad As-Sa’idi radhiallahu anuhma berkata: Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wasallam bersabda:
الْأَنَاةُ مِنْ اللَّهِ وَالْعَجَلَةُ مِنْ الشَّيْطَانِ
“Sifat hati-hati (waspada) itu dari Allah dan tergesa-gesa itu godaan dari setan.” (HR. At-Tirmizi no. 1935)
Dan seorang penyair telah berkata:
قَدْ يُدْرِكُ الْمُتَأَنِّي بَعْضَ حَاجَتِهِ وَقَدْ يَكُوْنُ مَعَ الْمُسْتَعْجِلِ الزَّلَلُ
“Betapa seringnya orang yang berhati-hati mendapatkan apa yang dia butuhkan, dan betapa seringnya orang yang tergesa-gesa itu tergelincir.”

Ancaman Kepada Para Bencong dan Waria

Dari Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhuma dia berkata:
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الْمُتَشَبِّهِينَ مِنْ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنْ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ
“Rasulullah shallallahu alaihi wasallam melaknat laki-laki yang menyerupai wanita dan wanita yang meyerupai laki-laki.” (HR. Al-Bukhari no. 5885)
Dari Abu Hurairah radhiallahu anhu dia berkata:
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّجُلَ يَلْبَسُ لِبْسَةَ الْمَرْأَةِ وَالْمَرْأَةَ تَلْبَسُ لِبْسَةَ الرَّجُلِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat laki-laki yang memakai pakaian wanita dan wanita yang memakai pakaian laki-laki.” (HR. Abu Daud no. 4098)
‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkata:
لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ الرَّجُلَةَ مِنْ النِّسَاءِ
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melaknat wanita-wanita yang menyerupai laki-laki.” (HR. Abu Daud no. 4099)

Penjelasan ringkas:
Allah Ta’ala berfirman:
وليس الذكر كالأنثى
“Dan laki-laki tidaklah sama dengan wanita.” (QS. Ali Imran: 36)
Ini merupakan ketatapan kauni dari Allah Ta’ala, bahwa lelaki tidaklah sama dengan wanita dan wanita tidaklah sama dengan lelaki. Karenanya wajib atas setiap muslim dan muslimah untuk beriman kepada ayat ini dengan cara meyakini adanya sisi-sisi perbedaan antara lelaki dan wanita. Dan Allah Ta’ala menetapkan yang demikian karena memang Allah Ta’ala telah menjadikan jenis lelaki lebih utama daripada jenis wanita, dan hanya milik Allah semua penciptaan dan urusan.

Di antara perkara-perkara yang Allah lebihkan lelaki di atas wanita adalah:
a. Lelaki merupakan pengayom dan pelindung bagi wanita, karena kelebihan mereka dari sisi jasad dan kemampuan untuk mencari penghidupan. Allah Ta’ala berfirman:
الرجال قَوَّامونَ على النسَاء بِما فضَّل اللهُ بعضهمْ على بعضٍ وبِما أنفقوا مِن أمْوالهم
“Kaum lelaki adalah penegak bagi kaum wanita, karena Allah telah memberikan keutamaan kepada sebagian mereka (lelaki) atas sebagian lainnya (wanita), dan karena mereka (lelaki) memberikan nafkah dari harta-harta mereka.” (QS. An-Nisa`: 34)
b. Kenabian dan kerasulan tidak diberikan kecuali pada lelaki. Allah Ta’ala berfirman:
وما أرسلنا من قبلك إلا رجالاً نوحي إليهم
“Dan Kami tidak pernah mengutus seorang pun sebelummu (wahai Muhammad) kecuali lelaki yang kami berikan wahyu kepada mereka.” (QS. Yusuf: 109)
Para ulama tafsir menerangkan bahwa maknanya adalah: Allah tidak pernah mengutus nabi dari kalangan wanita, tidak pula dari kalangan malaikat, tidak pula jin, dan tidak pula badui.
c. Kepemimpinan yang bersifat umum dan juga perwalian (misalnya wali nikah) adalah hak lelaki dan bukan wanita.
d. Lelaki mendapatkan lebih banyak ibadah yang bisa dikerjakan daripada wanita, seperti misalnya shalat jumat dan jihad.
e. Wanita senilai dengan setengah lelaki dalam hal warisan, diyat, persaksian, dan semacamnya.
Karenanya Allah Ta’ala berfirman:
وللرجال عليهن درجة والله عزيز حكيم
“Dan kaum lelaki berada di atas mereka (kaum wanita) beberapa derajat. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-Baqarah: 228)

Dan demikian pula sebaliknya, Allah Ta’ala telah menetapkan ketetapan yang terkhusus untuk wanita, baik ketetapan yang bersifat kauni (penciptaan asal) maupun penetepan yang bersifat syar’i.

Karenanya setiap muslim dan muslimah harus membatasi diri-diri mereka pada apa yang Pencipta mereka telah tetapkan mereka di atasnya. Dan janganlah mereka melampaui batas dari kedudukan dan posisi mereka masing-masing sehingga mereka melanggar dan menghina hikmah Allah yang Maha Bijaksana.

Termasuk dari melanggar ketetapan Allah dalam pembedaan antara lelaki dan wanita, serta di antara bentuk menghina hikmah Allah yang mendalam, adalah munculnya kaum yang sudah tidak berada di atas asal penciptaan mereka. Mereka merubah-rubah asal penciptaan mereka, padahal mereka telah dilarang darinya. Mereka adalah kaum bencong dan waria yang tidak beriman kepada ketatapan Allah dan menghina hikmah Allah atas penciptaan-Nya. Sungguh para bencong dan waria ini telah melanggar firman Allah Ta’ala:
ولا تتمنوا مَا فضَّل الله به بعضكم على بعض
“Dan janganlah kalian berangan-angan untuk mendapatkan keutamaan yang Allah berikan kepada sebagian yang lain (dan tidak Dia berikan kepada kalian).” (QS. An-Nisa`: 32)
Abu Ja’far Ath-Thabari rahimahullah berkata dalam tafsirnya, “Disebutkan bahwa ayat ini turun berkenaan dengan sekelompok wanita yang mengangan-angankan kedudukan kaum lelaki, agar mereka juga mendapatkan apa yang didapatkan oleh lelaki. Maka Allah melarang hamba-hambaNya untuk mengangan-angankan kebatilan dan memerintahkan mereka untuk meminta keutamaan dari-Nya.”
Jika wanita dilarang untuk mengangan-angankan posisi lelaki maka demikian pula dilarang bagi lelaki untuk mengangan-angankan posisi wanita, karena sebab larangannya sama yaitu amalan tersebut bertentangan dengan hikmah dan ketetapan yang Allah tetapkan. Dan jika sekedar berangan-angan saja sudah dilarang, maka bagaimana lagi jika diwujudkan dalam bentuk amalan, seperti penampilan luar, berpakaian, cara berjalan, cara berbicara, dan seterusnya. Baik dikerjakan secara serius maupun hanya sekedar bercanda. Baik sifatnya terus-menerus maupun sifatnya hanya sementara.

Sombong, Sifat Penghuni Neraka

Allah Ta’ala berfirman:
قِيلَ ادْخُلُوا أَبْوَابَ جَهَنَّمَ خَالِدِينَ فِيهَا فَبِئْسَ مَثْوَى الْمُتَكَبِّرِينَ
“Dikatakan (kepada mereka), “Masukilah pintu-pintu neraka Jahannam itu, dalam keadaan kekal di dalamnya” Maka neraka Jahannam itulah seburuk-buruk tempat bagi orang-orang yang menyombongkan diri.” (QS. Az-Zumar: 72)
Dari Abdullah bin Mas’ud radhiallahu anhu dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa beliau bersabda:
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ مَنْ كَانَ فِي قَلْبِهِ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ مِنْ كِبْرٍ قَالَ رَجُلٌ إِنَّ الرَّجُلَ يُحِبُّ أَنْ يَكُونَ ثَوْبُهُ حَسَنًا وَنَعْلُهُ حَسَنَةً قَالَ إِنَّ اللَّهَ جَمِيلٌ يُحِبُّ الْجَمَالَ الْكِبْرُ بَطَرُ الْحَقِّ وَغَمْطُ النَّاسِ
“Tidak akan masuk surga, orang yang di dalam hatinya terdapat seberat biji sawi kesombongan.” Seorang laki-laki bertanya, “Sesungguhnya bagaimana jika seseorang menyukai apabila baju dan sandalnya bagus (apakah ini termasuk kesombongan)?” Beliau menjawab, “Sesungguhnya Allah itu Maha Indah menyukai keindahan. Kesombongan itu adalah menolak kebenaran dan meremehkan manusia.” (HR. Muslim no. 91)
Haritsah bin Wahab radhiallahu anhu berkata: Saya pernah mendengar Nabi Shallallahu ‘alaihi wasallam bertanya:
أَلَا أُخْبِرُكُمْ بِأَهْلِ النَّارِ قَالُوا بَلَى قَالَ كُلُّ عُتُلٍّ جَوَّاظٍ مُسْتَكْبِرٍ
“Maukah aku beritahukan kepada kalian siapa penghuni neraka?” Mereka menjawab, “Mau.” Beliau bersabda, “Setiap orang yang kasar, congkak dalam berjalan, dan sombong.” (HR. Al-Bukhari no. 9417 dan Muslim no. 2853)
Dari Abu Said Al-Khudri dan Abu Hurairah radhiallahu anhuma keduanya berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
الْعِزُّ إِزَارُهُ وَالْكِبْرِيَاءُ رِدَاؤُهُ فَمَنْ يُنَازِعُنِي عَذَّبْتُهُ
“Kemuliaan adalah sarung-Nya dan kesombongan adalah selendang-Nya. (Allah berfirman:) Barangsiapa yang menyaiki-Ku (pada kedua sifat ini) maka Aku akan mengazabnya.” (HR. Muslim no. 2620)

Penjelasan ringkas:
Sifat sombong dan takabbur merupakan salah satu di antara sifat-sifat Allah yang hanya boleh dimiliki oleh Allah. Karenanya tidak ada seorang makhlukpun yang boleh bersifat dengannya. Karena siapa saja yang mencoba untuk bersifat dengannya maka Allah Ta’ala akan menyiksanya karena telah menyaingi-Nya dalam sifat yang khusus miliknya, sebagaimana Allah akan menyiksa orang yang menyaingi-Nya dalam ibadah yang merupakan hak khusus milik Allah. Dan sungguh Allah telah menjatuhkan ancamannya ini kepada makhluk pertama yang mencontohkan kesombongan yaitu Iblis. Hal itu terjadi tatkala dia enggan untuk melaksanakan perintah Allah berupa sujud kepada Adam alaihissalam. Semua itu karena sifat sombong dan congkak yang dia miliki dengan merasa lebih baik daripada Nabi Adam alaihissalam. Karenanya wajar jika Ibnu Al-Qayyim rahimahullah menyatakan bahwa sifat sombong merupakan salah satu dari rukun-rukun kekafiran. Hal itu karena kesombongan mengantarkan seseorang untuk menolak kebenaran dan memandang rendah orang lain, sebagaimana Iblis menolak perintah Allah yang merupakan kebenaran dan memandang rendah Nabi Adam alaihissalam yang sebenarnya lebih utama daripada dirinya. Dan sungguh karena sifat sombong inilah Iblis menjadi kafir dan diusir dari langit.
Maka siapa saja yang mempunyai sifat sombong di dalam hatinya walaupun sekecil biji sawi maka dia telah menyamai Iblis dalam hal ini. Dan tatkala Iblis diusir dari surga akibat kesombongannya, maka Allah juga mengharamkan surga dari manusia yang masih mempunyai sifat sombong di dalam hatinya walaupun sekecil biji sawi. Dan itu berarti tempat kembalinya di akhirat adalah neraka Jahannam yang penuh dengan siksaan dari Allah Ta’ala, wal ‘iyadzu billah.

Faidah tambahan yang bisa dipetik dari hadits Ibnu Mas’ud di atas adalah bahwa berhias dan menjaga kebersihan diri bukanlah bentuk kesombongan, karena hal itu dianjurkan oleh Allah Ta’ala.

keutamaan senyum

Dari Jarir bin Abdillah radhiallahu anhu dia berkata:
مَا حَجَبَنِي رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُنْذُ أَسْلَمْتُ وَلَا رَآنِي إِلَّا تَبَسَّمَ فِي وَجْهِي
“Sejak aku masuk Islam, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidak pernah menolak aku untuk duduk bersama beliau. Dan tidaklah beliau melihatku kecuali beliau tersenyum kepadaku.” (HR. Al-Bukhari no. 6089 dan Muslim no. 4523)
Dari Abdullah bin Al Harits bin Jaz`i radhiallahu anhu dia berkata:
مَا رَأَيْتُ أَحَدًا أَكْثَرَ تَبَسُّمًا مِنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Aku tidak pernah melihat seseorang yang paling banyak senyumannya selain Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam.” (HR. At-Tirmizi no. 3641)
Jabir bin Samurah radhiallahu anhu berkata menceritakan tentang kebiasaan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam:
كَانَ لَا يَقُومُ مِنْ مُصَلَّاهُ الَّذِي يُصَلِّي فِيهِ الصُّبْحَ حَتَّى تَطْلُعَ الشَّمْسُ فَإِذَا طَلَعَتْ قَامَ وَكَانُوا يَتَحَدَّثُونَ فَيَأْخُذُونَ فِي أَمْرِ الْجَاهِلِيَّةِ فَيَضْحَكُونَ وَيَتَبَسَّمُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
“Beliau biasanya tidak berdiri dari tempat shalat di mana beliau shalat shubuh padanya kecuali setelah terbit matahari. Apabila matahari telah terbit barulah beliau berdiri. Sementara itu para sahabat bercakap-cakap membicarakan kejadian di masa jahiliyah, lalu mereka tertawa, sedangkan beliau hanya tersenyum.” (HR. Muslim no. 2322)
Dari Abu Dzarr radhiallahu anhu dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
تَبَسُّمُكَ فِي وَجْهِ أَخِيكَ لَكَ صَدَقَةٌ وَأَمْرُكَ بِالْمَعْرُوفِ وَنَهْيُكَ عَنْ الْمُنْكَرِ صَدَقَةٌ وَإِرْشَادُكَ الرَّجُلَ فِي أَرْضِ الضَّلَالِ لَكَ صَدَقَةٌ وَبَصَرُكَ لِلرَّجُلِ الرَّدِيءِ الْبَصَرِ لَكَ صَدَقَةٌ وَإِمَاطَتُكَ الْحَجَرَ وَالشَّوْكَةَ وَالْعَظْمَ عَنْ الطَّرِيقِ لَكَ صَدَقَةٌ وَإِفْرَاغُكَ مِنْ دَلْوِكَ فِي دَلْوِ أَخِيكَ لَكَ صَدَقَةٌ
“Senyummu kepada saudaramu merupakan sedekah, engkau memerintahkan yang ma’ruf dan melarang dari kemungkaran juga sedekah, engkau menunjukkan jalan kepada orang yang tersesat juga sedekah, engkau menuntun orang yang berpenglihatan kabur juga sedekah, menyingkirkan batu, duri, dan tulang dari jalan merupakan sedekah, dan engkau menuangkan air dari embermu ke ember saudaramu juga sedekah.” (HR. At-Tirmizi no. 1956 dan dinyatakan hasan oleh Al-Albani dalam Ash-Shahihah no. 517)

Penjelasan ringkas:
Tersenyum kepada saudara merupakan cara termudah untuk meraih keridhaan hatinya dan menghilangkan semua kebencian dan kedengkian yang ada di dalam hatinya. Karenanya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam menganjurkan agar hendaknya seorang muslim tidaklah melihat ke arah saudaranya kecuali dalam keadaan tersenyum, dan beliau sendiri telah melakukan apa yang beliau anjurkan ini. Karena selain dia merupakan cara termudah untuk mempererat persaudaraan, tersenyum juga merupakan cara termudah untuk mendapatkan pahala dari Allah, karena setiap senyum yang kita lakukan akan dinilai sebagai sedekah kita kepada saudara kita.

Karenanya saking ajaibnya ibadah senyum ini, tidaklah dua orang yang bermusuhan salin tersenyum satu sama lain kecuali akan hilang saat itu juga permusuhan yang terjadi di antara mereka, atau paling minimal hubungan di antara keduanya akan berangsur membaik.

Imam Adz-Dzahabi rahimahullah berkata dalam Siyar A’lam An-Nubala` (10/140-141), “Di sini ada yang butuh diingatkan, yaitu bagi orang banyak tertawa dan tersenyum sebaiknya dia tidak berlebihan di dalamnya agar dia tidak dijauhi oleh orang lain. Demikian pula bagi orang yang suka bermuka masam dan kurang tersenyum, sebaiknya dia memperbaiki tingkah lakunya dan dia mencela dirinya karena keburukann tingkah lakunya. Karenanya segala sesuatu yang menyimpang dari sikap pertengahan (sederhana) adalah tercela.”

Kemudian, selain tersenyum bisa mendatangkan pahala, tersenyum juga bisa mendatangkan dosa, yaitu jika dia tersenyum pada waktu yang salah dan kepada orang yang salah. Misalnya dia tersenyum di dalam shalat atau dia tersenyum kepada yang bukan mahramnya. Apalagi tersenyum kepada yang bukan mahram, bukannya mendapatkan kebaikan, justru dia akan ditimpa oleh banyak fitnah setelahnya yang akan merusak agamanya.